Kamis, 02 Januari 2014

TAFSIR TENTANG AYAT AHLI KITAB
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Sosial

Dosen pengampu : Dr. H. Mahfudz Masduki, M.A

Disusun Oleh :

Ulva Khalidatul Jannah
 11530120
Rizky Dimas Pratama
11530127
Erwanda Safitri
12530004
Fatikhatur Rafi’un Nisak
12530006

PRODI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
PERIODE 2013-2014


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ahli Kitab secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu kata Ahli yang merupakan serapan dari bahasa Arab dan kitab. Kata ahl  adalah bentuk kata benda (isim) dari kata kerja (Fi’il) yaitu kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl yang bermakna juga famili, keluarga, kerabat. Adapun kata Kitab atau Al-Kitab maka sudah masyhur di Indonesia yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an. Sedangkan Ahli Kitab menurut terminologi adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah ta’ala.
Dari pengertian secara etimologi maupun terminologi dapat dipahami bahwa ahli kitab atau ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika menafsirkan Surat Al-Maidah : 5, beliau mengatakan bahwa ahli kitab mencakup orang-orang yang diberikan kepada mereka al Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sebab Yahudi dan Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab karena Allah mengutus di tengah-tengah mereka nabi-nabi mereka yang membawa kitab suci masing-masing walaupun mereka sendiri kemudian yang merubah isinya. Allah menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa 'Alaihi As-Salamdan pengikut beliau yang merubah isi Taurat setelahnya dikenal sebagai Yahudi. Kemudian Allah menurunkan Kitab Injil kepada Nabi Isa 'Alaihi As-Salam dan pengikut beliau yang merubah isi Injil disebut Nasrani. Mereka disebut Ahli Kitab karena kitab-kitab suci mereka sebelum mereka rubah isinya adalah turun dari Allah seperti Al-Qur'an.
Maka agama-agama selain Yahudi dan Nasrani seperti Hindu, Buddha, Majusi/Zoroastrianisme, Kong Hu Chu, Taoisme dan Shinto mereka tidak bisa disebut sebagai ahli kitab walaupun mereka memiliki kitab suci masing-masing. Hal ini dikarenakan kitab suci mereka bukan diturunkan oleh Allah akan tetapi mereka membuat sendiri yang disesuaikan dengan adat, tata krama dan filosofi masyarakat pada masa itu. Inilah yang menjadi pendapat Imam syafi’i.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    QS. Al Baqarah : 109
Artinya :
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Hayy bin Akhthab dan Abu Jasir bin Akhtab termasuk kaum yahudi yang paling hasud terhadap orang Arab, dengan alasan Allah telah mengistimewakan orang Arab dengan mengutus Rasul dari kalangan mereka. Kedua orang bersaudara itu bersungguh-sungguh mencegah orang lain masuk Islam. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Q.S. 2 al-Baqarah: 109) sehubungan dengan perbuatan kedua orang itu.[1]
Tafsir Mufradat
وَدَّ                                       : menginginkan, menyukai.
أَهْلِ الْكِتَابِ                             : kaum Yahudi dan kaum Nasrani.
حَسَدًا                                                : hasad atau dengki adalah mengharap hilangnya nikmat dari orang lain yang mendapatkannya.
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ                                      : mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan agamanya adalah agama yang benar.
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا                                  : janganlah kalian hukum mereka dan jangan kalian caci mereka. Makna al-afwu adalah memaafkan dengan tidak menghukum sedangkan makna ash-shafhu adalah berpaling dari orang yang bersalah (dengan menganggap tak bersalah).
Tafsir Ayat
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq, dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "Huyay bin Akhthab merupakan orang Yahudi yang paling dengki terhadap masyarakat Arab, karena Allah SWT telah mengistimewakan mereka dengan (mengutus) Rasul-Nya, Muhammad SAW. Selain itu, keduanya juga paling gigih menghalangi manusia memeluk Islam. Berkaitan dengan kedua orang tersebut, Allah menurunkan ayat:
 وَدَّكَثِيرُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا (sebagian besar dari ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman). Lebih lanjut Allah berfirman:  حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ (karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri telah nyata bagi mereka kebenaran). Dia berfirman, bahwa setelah kebenaran yang terang-benderang di hadapan mereka dan tidak ada sedikit pun yang tidak mengetahuinya, tetapi kedengkian menyeret mereka kepada pengingkaran. Maka Allah SWT pun benar-benar mencela, menghina, dan mencaci mereka, serta menyegerakan bagi Rosulullah SAW dan juga orang-orang yang beriman yang telah membenarkan, mengimani, dan mengakui apa yang diturunkan Allah SWT kepada mereka dan yang diturunkan kepada orang-orang sebelum mereka, kemuliaan, pahala yang besar, dan pertolongan-Nya.
Mengenai firman-Nya: مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم , ar-Rabi' bin Anas mengatakan: "(Hal itu berarti), berasal dari diri mereka sendiri."
Sedangkan mengenai firman-Nya: مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ  (setelah nyata bagi mereka kebenaran), Abul 'Aliyah mengatakan: "Yaitu setelah mereka melihat dengan jelas bahwa Nabi Muhammad, Rosulullah SAW tertulis dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu mereka mengingkarinya karena dengki dan iri, karena Nabi Muhammad SAW bukan dari kalangan mereka (Yahudi)." Hal serupa juga dikatakan oleh Qatadah dan ar-Rabi' bin Anas.
Dan firman Allah SWT:  فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ  (maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya). 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat berikut ini: فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ (maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka). (QS. At-Taubah:5)
Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi orang-orang musyrik. Hal yang sama dikemukakan oleh Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin Anas, Qatadah, dan as-Suddi, bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat saif (perintah perang). Hal itu ditunjukkan pula oleh firman-Nya: حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya). Rosulullah SAW melaksanakan untuk memberikan maaf seperti yang diperintahkan Allah, sehingga Allah mengizinkan kaum Muslimin memerangi mereka. Lalu dengannya Allah membunuh para pemuka kaum Quraisy.[2]
Tafsir firman Allah: إِنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُ (sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu). Abu ja'far berkata: kami telah buktikan pada pembahasan yang lalu bahwa makna  قَدِير adalah yang maha kuasa, maka arti ayat di sini adalah: bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang dikehendaki dari apa yang kami sebutkan tentang ahli kitab, dan yang lainnya, jika dia menghendaki akan membalas terhadap mereka karena pembangkangan mereka, dan jika Dia menghendaki akan diberikan kepada mereka hidayah sebagaimana Allah memberikan hidayah kepadamu dengan keimanan, dan tidak ada halangan terhadap apa yang dikehendaki dan putuskan, karena milik-Nya lah segala urusan dan ciptaan.[3]
  1. QS. ALI IMRAN: 113

Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
Makna Mufradat
ليسوا سواء من اهل الكتاب امة قائمة   , pada ayat ini terjadi pemberhentian secara sempurna pada lafadz “laisu sawaa”. Ibnu Mas’ud menafsirkan maknanya dengan “Tidaklah sama orang-orang yang kafir dari ahlul kitab  dengan orang-orang mukmin dari golongan umat Nabi Muhammad saw. Dan beberapa ulama’ lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah “ Tidak sama antara orang-orang yang beriman dari ahlul kitab dengan orang-orang yang kafir dari ahlul kitab.[1]
امة قائمة Ummah Qaimah                                                                
Ungkapan ini terdiri dari dua kata, yaitu kata ummah dan kata qaaimah. ummah yaitu suatu golongan atau kelompok manusia/orang. Sedang Qaaimah berarti “yang lurus” (mustaqiimah) pada agama Allah swt, yaitu mereka melaksanakan kewajiban agama yang menjadi amanah bagi mereka dengan ikhlas.[2]
Al-Akhfasyi menafsirkan, makna “امة قائمة”, adalah: “Diantara ahli kitab terdapat segolongan orang..” atau “Diantara ahli kitab terdapat orang-orang yang berjalan di jalan yang benar”.
Dikatakan bahwa dalam ayat ini ada lafadz yang tidak disebutkan, perkiraannya adalah: (واخرى غير امة) sehingga dimaknai “ Diantara Ahli Kitab terdapat golongan yang berlaku lurus dan yang lainnya tidak berlaku lurus”. Namun kalimat ini enggan disebutkan dikarenakan kalimat yang pertama sudah mewakili kalimat yang kedua. [3]
Sabab al-Nuzul
Adapun Sabab al-Nuzul dari ayat ini adalah: ketika ‘Abdullah bin Salam dan sahabatnya beriman, kemudian para rabi (pendeta) Yahudi berkata, “Hanya orang bodoh dari kalangan kami yang beriman dan mengikuti Muhammad. Seandainya mereka termasuk orang pandai dari kalangan kami, tentu mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang dan berpaling ke agama lain.” [4]
Dalam riwayat lain yakni dari Ibnu Ishaq [5] dikatakan, dari Ibnu Abi Hatim, Tabrani dan Ibnu Mandah dalam kitabnya Ash-Shahabah dari Ibnu abbas, katanya: Tatkala Abdullah bin Salam masuk islam bersama Tsa’labah bin sa’yah, Usaid bin Sa’yah dan As’ad bin Abdun serta orang-orang Yahudi lainnya yang masuk islsam bersama mereka. Mereka itu benar-benar beriman dan membenarkan apa yang serta mengajak orang-orang masuk islam. Teapi pendeata Yahudi dan warga-warga kafir tidak senang dan mengatakan: “ tidaklah beriman kepada Muhammad dan bersedia mengikutinya kecuali orang-orang yang jelek diantara kami, sekirany mereka orang-orang baik, tentulah mereka takkan meninggalkan agama nenek moyang mereka dan berpindah ke agama lain.” [6]
Penafsiran Ayat
Orang  Yahudi adalah suatu kaum yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan buruk, antara lain mereka kafir kepada ayat-ayat Allah swt, membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, tetapi mereka semua tidak sama. Ada diantar mereka yang beriman,[7] yakni kelompok Yahudi yang telah masuk islam, sekalipun kebanyakan adalah termasuk orang-orang yang fasik. [8]
Abdullah bin Salam, Tsa’labah bis Sa’id, Usaid bin ‘Ubaid dan kawan-kawannya adalah orang-orang Yahudi dari Ahli Kitab yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak menganiyaya orang, memeluk agama islam. Dan tidak melanggar perintah-perintah Allah swt. Mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan penuh tekun dan penuh perhatianpada waktu malam yang diawali dengan terbenamnya matahari dan diakhiri dengan terbitnya fajar, ketika orang tidur nyenyak, mereka juga sujud mengadakan hubungan langsung dengan Allah swt.[9]
Kesimpulan ayat: Diantara orang-orang Yahudi ada segolongan yang beriman, tekun membaca ayat-ayat al-qur’an, rajin beribadah pada malam hari, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta berlomba-lomba berbuat kebajikan.
Analisi Ayat
1.      Keutamaan berpegang teguh terhadap agama Allah swt.
2.      Keutamaan membaca al-Qutr’an pada waktu malam.
3.      Keutamaan beriman dan berdakwah kepada masyarakat dengan ajaran islam.
4.      Keutamaan bagi seorang Ahli Kitab yang masuk islam dan menjadi baik dengan keislamannya. Dalam Shahih Bukhari dijelaskan, Rosulullah bersabda: “Ada tiga orang yang diberi pahala dua kali: (salah satunya adalah) seorang Ahli Kitab dari golongan laki-laki, yang beriman kepada Nabinya, lalu ia mendapati Nabi Muhammad saw maka ia berman pula kepadanya, mengikuti dan membenarkannya: maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari Muslim) [10]
A.    QS. Al-Maidah : 51
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Asbabun Nuzul
Menurut As-Sudi Ayat ini diturunkan tentang kisah perang Uhud ketika kaum muslim dihinggapi perasaan takut, hingga sekelompok orang dari mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
            Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan tentang kisah Ubadah bin Ash-Samit dan Abdullah bin Ubai bin Salul, dimana Ubadah kemudian melepaskan diri dari tidak menjadikan orang-orang Yahudi sebagai pemimpin, sedangkan Ibnu Ubai justru melakukan perbuatan tersebut. Ibnu Ubai berkata  “ Sesungguhnya aku takut terjadi malapetaka.[1] 
            Riwayat dari Ibnu Saibah dan Ibnu Jarir dari Atiyah bin Sad menceritakan bahwa Ubadah bin samid dari Bani Khoraj datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkata :Ya Rasulullah, saya ini orang yang mempunyai ikatan persahabattan dengan orang-orang Yahudi yang merupakan kawan-kawan yang akrab sekali, bukan dengan beberapa orang saja, tetapi dengan jumlah yang banyak. Saya ingin mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya dengan dengan meninggalkan hubungan saya yang akrab selama ini dengan orang-orang Yahudi “.Mendengar ucapan Ubadah itu lalu Abdullah bin Ubay berkata :”Saya ini adalah orang yang penakut, saya takut kalau-kalau nanti mendapat bahaya dari orang-orang Yahudi bila diputuskan hubungan yang akrab dengan mereka “. Maka Rasulullah saw berkata kepada Abdullah bin Ubay: perasaan yang terkandung dalam hati mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan Ubadah biarlah untuk kau saja, bukan untuk orang klain “. Lalu Abdullah bin Ubay menjawab :”kalau begitu, akan saya terima”.[2]
Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman, agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Namun diperbolehkan dalam pertemanan biasadalam pergaulan, apalagi dalam urusan keduniawian, Allah tidak melarangnya asal hati-hati dalam pergaulan, sebab bagi mereka sifat melanggar janji dan berbohong untuk mencari kuntungan duniawi adalah biasa saja. Hal seperti ini sudah diperlihatkan oleh Rasulullah saw ketika Nabi berada di Madinah.
            Orang Yahudi dan Nasrani itu rasa golongannya dan kesukuan mereka sangat tebal. Karena itu walau bagaimana baiknya hubungan mereka dengan orang mukmin, sehingga suka mengadakan perjanjian untuk kerja sama dengan mereka tapi kalau akan merugikan golongan dan bangsannya, mereka tidak akan berbalik kebelakang dan mengkhianati janji dan memusuhi orang mukmin.
            Karena itu dalam akhir ayat ini Allah menegaskan lagi, bahwa barang siapa diantara  orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi Nasrani sebagai teman akrabnya, maka orang itu telah termasuk golongan mereka, tanpa dasar lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan akan membantu Islam, tetapi akan menjadi musuh Islam. Kalau dia sudah menjadi musuh Islam, berarti ia telah menganiyaya dirinya sendir. Ketahuilah bahwa llah tidak akan menunjuki orang-orang yang aniyaya, kepada jalan yang benaruntuk mencapai bahagia dunia dan akhirat.[3]
Menurut  Muhammad AL-Ghozali ada 3 kriteria Yahudi dan Nasrani yang tidak diperbolehkan kita jadikan pemimpin[4]:
1.      Mereka yang membenci Syariat Islam dengan kebencian yang tidak terkendali dan lebih mengutamakan syariat-syariat jahiliyah (Hal itu sesuai Qs.Al maidah:49-50)
2.      Mereka yang hatinya condong pada musuh, dan dikhawatirkan akan berkhianat ketika mendapat kesempatan(hal ini sesuai Qs.Al maidah :52)
3.      Mereka yang mencemoohkan syariat Islam dan memperolok-olok salat dan adzan ( hal ini sesuai  Q.S Al maidah:57-58)
Namun al Ghazali memberikan kelonggaran dalam pergaulan terhadap Yahudi dan Nasrani yakni diperbolehkan kerjasama dalam bidang perdagangan atas dasar amanah dan kejujuran. Atas dasar sebuah realita kehidupan sekarang ini, sebuah keluarga bisa saja terdiri dari Muslim dan non Muslim asal didirikan atas dasar saling mengasihi dan menyayangi. Dan mungkin saja hubungan kemanusiaan yang akrab antar sesama pemeluk agama yang berbeda didirikan jauh dari saling menzalimi, penipuan dan kebencian. Disamping itu juga Islam telah menempatkan kondisi-kondisi yang membolehkan kaum mukmin untuk marah dan memutuskan hubungan tersebut. Ringkasnya, perbedaan agama yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah.

Kontekstualisasi Ayat
Agama Islam adalah agama Rahmatalil alamin yang menjunjung perdamaian sehingga apabila ayat diatas di pakai secara saklek maka akan mengakibatkan kerusuhan, khususnya Indonesia yang bermacam-macam dalam memeluk agama. Ahli kitab itu sangatlah beda dengan kaum musyrikin yang sudah dikecam sebagai kaum kafir. Sehingga dapat dipahami bahwa Ahli kitab itu jika dikontekstualisasikan pada zaman sekarang adalah orang-orang non muslim yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam tatanan negara. Larangan memilih pemimpin non muslim itu berlaku ketika non muslim terebut menzalimi umat Islam. Tetapi dalam konteks kedamaian warga yang plural, seperti di Madinah  pada zaman Nabi SAW, umat Islam dapat bekerjasama dengan non Muslim.   Maka untuk zaman moderen ini , demi membangun perdamaian dan persatuan bangsa, non Muslim boleh saja dipilih jadi pendamping (wakil) pemimpin.  Contohnya di Indonesia yakni pasangan gubernur Jokowi-Ahok, Ahok berbeda agama dengan jokowi. Basuki Cahya Purnama alias Ahok berasal dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Disamping konteks kedamaian, juga konteks kekuasaan pemimpin sekarang yang tidak lagi absolut,  bukan Kaisar, Raja, dan bukan juga Khalifah.   Pemimpin Non Muslim di Negeri mayoritas Muslim, biasanya sebatas Wakil Presiden, Menteri, Gubernur. Hal ini juga dilakukan oleh pemimpin Islam zaman dahulu yakni pada masa Bani Abasiyah.

  1. QS. Al Maidah : 59



[1] Atsar ini dicantumkan oleh Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan (6/178) secara rinci
[2] HAA Dahlan dan M Zaka Al Farisi “Asbabun Nuzul Edisi Dua” (Bandung : CV Diponegoro, 2009) hal.197
[3] Ibnu Katsir “Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir” (Surabaya: Bina Ilmu, 1993) hal.460-461
[4]Syekh Muhammad Al-Ghazali “Tafsir Al-Ghozali Tafsir Tematik Al-Qur’an”(Yogyakarta:Islamia, 2004)hal. 148



[1] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi dan Nashirul Haq, ed. Ahmad Zubairin (Jakarta selatan: Pustaka Azam, cet I, 2008), hlm. 434
[2] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya  (Jakarta:Departemen agama RI, 2009) hlm. 23
[3] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, hlm. 436
[4] Wahbah Zuhaily, dkk., Buku Pintar al-Qur’an, terj. M. Tatam Wijaya, dkk. (Jakarta Timur: Almahira, cet IV, 2009) hlm. 65
[5] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, hlm. 435
[6] Imam Jalaluddin al-mahally dan Imam Jalaluddin al-Syuyuthi, Tafsir al-jalalain, terj. Mahyudin syaf dan Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru, cet I, 1990) hlm, 309
[7] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, hlm. 24
[8] Syeikh Abu Bakar Jabir  Al-jazairi, terj. M. Azhari Hatim dan Abdur Rahim Mukti, ed. M. Yusuf Harun (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, cet I, 2007), hlm. 171
[9] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya  (Jakarta:Departemen agama RI, 2009) hlm, 24
[10] Syeikh Abu Bakar Jabir  Al-jazairi, hlm. 173


[1] H.A.A. Dahlan dan Zaka Alfarisi, Asbabun Nuzul (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000).
[2] Abdullah bin Muhammad , Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi'I, 2009)
[3] Ibnu Jarir ath-Thobari, Tafsir ath-Thobari, hlm 391.

Safwah At Tafasir Dalam Gugatan


TAFSIR SAFWAH AT-TAFASIR DALAM GUGATAN
Makalah
Diajukkan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Studi Kitab Tafsir Modern
Dosen Pengampu: Drs. Muhammad Mansur, M. Ag.

 





  
Oleh:
Atropal Asparina: 11530128
Rizky Dimas Pratama : 11530127
Abdullah Zahir : 11530097
Shihah Tsaniyah: 11530129
Ulvah Kholidatul Jannah: 11530120


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tafsir al-Qur’an secara sederhana dapat diartika sebagai buah pemikiran dari orang-orang yang mencoba memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sejak al-Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu, sejak saat itu pula usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sudah dilakukan. Eksistensi Nabi Muhammad saw.—selain sebagai suri tauladan juga menjadi rujukan ummat—tampil sebagai penafsir utama yang selalu diyakini dan dihormati kebenarannya oleh ummat muslim pada masa itu. Tetapi setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dunia maka keragaman pendapat dalam menafsirkan al-Qur’an tidak bisa terbendung lagi.
Perkembangan Tafsir terus semakin meningkat, sehingga mengalami beberapa pergeseran titik tekan. Mulai dari riwayat sebagai dasar yang unggul, yang kemudian melahirkan tafsir bi arriwayah, sampai kepada akal sebagai basis penafsiran yang kemudian melahirkan tafsir bi arra’yi. Selain itu di sela pergeseran titik tekan tersebut terdapat istilah ta’wil yang juga ikut mewarnai khazanah keilmuan Islam terkait al-Qur’an dan hadis.
Setelah memasuki era modern, maka tafsir pun kemudian mengalami beberapa perubahan, diantaranya adalah kebutuhan untuk menjawab permasalahan manusia. Dengan adanya kebutuhan tersebut maka tafsir kemudian terkesan lebih relatif. Diantara kitab tafsir yang cukup representatif untuk menunjuk kepada permasalahan tersebut adalah tafsir Safwah At-Tafasir. Tafsir karya Muhammad Ali As-Shabuni tersebut, di kalangan masyarakat—terutama dunia akademis—cukup  hangat diperbincangkan, terutama mengenai metode yang digunakan dalam menyusun tafsir tersebut, sehingga terkandung di dalamnya pemaparan yang ilmiah, rinci, jelas, dan mudah dipahami. Maka dengan latar belakang tersebut penulis merasa perlu untuk membahas tafsir Safwah At-Tafasir guna untuk lebih memahami bagaimana kondisi tafsir tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi dan  latar belakang ditulisnya tafsit Safwat At-Tafasir?
2.      Bagaimana Deskripsi, sistematika serta metode yang digunakan Safwat At-Tafasir?
3.      Bagaimana Safwah At-Tafasir digugat oleh para ulama dan pemikir?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Penulis Kitab Safwah At-Tafasir
Syekh Muhammad Ali As Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni. Beliau lahir di kota Helb, Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program magisternya di universitas Al-Azhar dengan mengambil tesis khusus tentang Perundang-Undangan Dalam Islam pada tahun 1954 M.
Beliau juga tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah Universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab . Di samping sibuk mengajar, Ash-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Alquran dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun, setelah itu ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.
Ali As Shabuni, telah menyelesaikankan tafsir ini (Shafwah al-Tafasir), secara terus menerus dikerjakannya non-stop siang malam selama lebih kurang menghabiskan waktu kira-kira lima tahun. Dia tidak menulis sesuatu tentang tafsir sehingga dia membaca dulu apa-apa yang telah ditulis oleh para mufasir, terutama dalam masalah pokok-pokok kitab tafsir, sambil memilih mana yang lebih relevan (yang lebih cocok dan lebih unggul).[1]
Shafwah al-Tafsir merupakan tafsir ringkas, meliputi semua ayat A-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam judul kitab : Jami’ baina al-Ma’tsur wa al-Ma’qul. Shafwah al-Tafasir ini berdasarkan kepada kitab-kitab tafsir terbesar seperti al-Thabari, al-Kasysyaf, al-Alusi, Ibn Katsir, Bahr al-Muhith dan lain-lain dengan uslub yang mudah, hadits yang tersusun ditunjang dengan aspek bayan dan kebahasaan.[2]
As Shabuni mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya, tentang penjelasan tujuan ditulisanya kitab ini, Diantara kewajiban ulama saat ini adalah mengerahkan kesungguhannya untuk mempermudah pemahaman manusia pada Al-Qur’an dengan uslub yang jelas, bayan yang terang, tidak terdapat banyak kalimat sisipan yang tidak perlu, tidak terlalu panjang, tidak mengikat, tidak dibuat-buat, dan menjelaskan apa yang berbeda dalam Al-Qur’an yaitu unsur keindahan ‘Ijaz dan Bayan bersesuaian dengan esensi pembicaraan, memenuhi kebutuhan pemuda terpelajar, yang haus untuk menambah ilmu pengetahuan Al-Qur’an al-Karim’.
Kata As Shabuni, ‘saya belum menemukan tafsir al-Kitabullah ‘Azza Wajalla yang memenuhi kebutuhan dan permasalahannya sebagaimana disebutkan diatas dan menarik perhatian (orang) mendalaminya, maka saya terdorong untuk melakukan pekerjaan penyusunan ini. Seraya memohon pertolongan Allah al-Karim saya berinama kitab ini : “Shafwah al-Tafasir” karena merupakan kumpulan materi-materi pokok yang ada dalam tafsisr-tafsir besar yang terpisah, disertai ikhtisar, tertib, penjelasan dan bayan’.[3]
Adapun karya yang lainnya adalah : Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir al-Thabari, Jammi al-Bayan, al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhau al-Kitab dan Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-bayan.

B.     Latar Belakang Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir                                                                            
Sebuah karya, apapun jenisnya termasuk kitab tafsir dalam masa pembuatannya, pasti tidak dapat dimungkiri dari aspek kultur-sosial yang mengelilinginya. Pada tahun 1930 lahir sebuah karya tafsir dari tangan seorang ilmuwan kelahiran Syiria yang menambah deretan khazanah ke-ilmu-an ke-Islam-an, yaitu “Shafwah Al Tafasir” yang disusun selama kurang lebih lima tahun sekaligus memberi kesan tersendiri bagi para sebagian kalangan ulama dan para pemerhati lainnya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya karya yang dilahirkan As Shabuni ini juga memiliki latar yang memberikan warna terhadap alur fikirannya dalam menafsirkan Al-Quran. Dari data yang didapat mengenai latar belakang penyususnan kitab ini beliau menyebutkan.
1.    Menjunjung kalimatullah untuk memberi pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam memahami agama.
2.    Keberadaban Al-Quran itu sendiri yang kekal dengan penuh keajaiban-keajaiban, penuh dengan mutiara-mutiara kehidupan, senantiasa memicu akal untuk mengkajinya.
3.    Kenyataan semua ilmu akan hilang dimakan jaman, kecuali ilmu Al-Quran
4.    Kewajiban ulama tetap mesti menjadi jembatan bagi pemahaman umat terhadap Al-Quran dengan memberikan kemudahan dalam mengkajinya.
Dari pemaparan beliau diatas nampaknya kita bisa melihat bagaimana sosio masyarakat yang ada ketika beliau menciptakan kitab tafsir ini. Jelas siapa yang menjadi sasaran serta bagaimana respon tafsirnya terhadap laju kultur dan kebutuhan lingkungan masyarakat dimana beliau berada.

C.    Deksripsi Kitab Safwat At-Tafasir
Kitab Tafsir Safwat[4] At-Tafasir merupakan karya paling monumental dari Muhammad Ali Ash-Shabani. Pada awalnya diberi nama demikian karena kitab ini dihimpun dari berbagai  kitab tafsir besar secara rinci sekaligus ringkas, juga secara sistematis dan kronologis, sehingga pemaparannya menjadi jelas dan lugas. Pemberian nama itu juga dimaksudkan supaya kitab tersebut dapat menjadi pendorong dan motivasi bagi umat Islam untuk mengantarkan mereka ke arah jalan yang lurus (Sirat Al-Mustaqin). Selain hal itu, dalam tafsir ini juga tersirat bahwa pengarang tafsir hendak menunjukan bahwa Safwat At-Tafasir ini telah mewakili tradisi pemikiran tafsir Al-Qur’an di seantero dunia.
Dalam kitab tafsir ini Ali Ash-Shabuni berusaha memadukan  antara penafsiran dari golongan Ahli Al-Fiqh (yang sifatnya rasional-kontekstual) dengan Ahli Al-Hadis (yang sifatnya tekstual). Selain itu dicantumkan juga beberapa pandangan ulama kenamaan, dengan kitab-kitab tafsir kenamaan lainya. Adapun pandangan-pandangan yang diambil adalah diantaranya dari kitab tafsir Ath-Thabari, Al-Kasysyaf, Al-Qurtubi, Al-Alusi, Ibnu Katsir, Al-Baidhawi, Dan Bahr Al-Muhit, beserta kitab-kitab lainya seperti misalnya Fi Zilalil Qur’an.[5]
Sebelum memulai penafsiran, kitab ini terlebih dahulu memulainya dengan dua penggalan ayat Al-Qur’an. Yaitu surah Ali-Imran ayat 187[6].
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.

Dan surah An-Nahl ayat 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
(mereka Kami Utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami Turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
Kitab ini—Safwat At-Tafasir—ditulis selama lima tahun dan tidak pernah berhenti antara siang dan malam. Mesipun demikian Ali As-Shabuni tidak terlalu berani untuk segera menerbitkannya kepada masayarakkat luas, karena adanya berbagai pertibangan dan kehati-hatian. Baru pada tahun 1996 Ali Ash-Shabani kemudian mengizinkan untuk menerbitkan karya monumentalnya tersebut. Sehingga jika dijumlahkan proses keseluruhan pembuatan kitab ini—sampai diterbitkan untuk khalayat umum—adalah sekitar 30 tahun. Sebelumnya, perlu juga diketahui bahwa dari proses yang amat panjang tersebut, pada mulanya juga diadakan berbagai diskusi ilmiah secara intens, formal dan terstruktur. Hal ini dilakukan guna mendapatkan atau menghasilkan sebuah maha karya yang berkualitas tinggi, tetapi mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat umum.[7]
Kitab ini dimulai dengan sebuah muqaddimah (pendahuluan) yang di dalamnya dimuat latar belakang penulisan kitab safwat ini. Adapun isi pendahuluan tersebut dapat diringkas menjadi beberapa poin seperti tergambar di bawah ini.
1.      Diawali dengan kalimat pembuka, berupa pujian dan doa kepada Nabi Muhammad saw.
2.      Penjelasan mengenai keagungan Al-Qur’an
3.      Dijelaskan pula upaya-upaya ulama terdahulu yang berusaha mengungkap kandungan dan isi Al-Qur’an dan dengan ilmu tafsir berhasil menjelajahi dan mendalami khazanah ilmu Al-Qur’an
4.      Adanya penekanan Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. yang mengandung ilmu pengetahuan dan berbagai hikmah
5.      Dipaparkan pula upaya umat Islam untuk mnegungkap kandungan Al-Qur’an lebih dalam dari kitab-kitab tafsir besar terdahulu yang kemudian dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan. Sehingga kentara sekali bagaimana kegadrungan Ali Ash-Shabuni untuk membuat tafsir yang mudah, simpel, jelas, dan dapat dengan ringan dikonsumsi oleh masayarakat.
6.      Adanya masalah pribadi di tenggarai Ali Ash-Shabuni, yang mana dia belum menemukan kitab tafsir yang yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan umat muslim, baik untuk pedoman hukum maupun sebagai sarana meningkatkan keimanan.
7.      Alasan penamaan kitab sehingga menjadi Safwat At-Tafasir
8.      Metode dan sistematika penafsiran yang akan dipakai dalam kitab, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
9.      Permohonan ampun kepada Allah dan sekaligus pengharapan supaya kitabnya ini menjadi kebaikan hingga hari kemudian[8].
D.    Sistematika Dan Metode Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir
Dalam memaparkan tafsirnya dalam kitab ini Ali Ash-Shabuni memakai sistematika yang dipakainya dalam kitab tafsir sebelumnya, yaitu Rawa’i’ Al-Bayan dengan sepuluh langkahnya[9]. Tetapi nampaknya dalam kitab Safwat At-Tafasir ini Ash-Shabuni cendrung lebih mempersingkatnya sehingga hanya menjadi tujuh langkah. Adapun langkah-langkah tersebut ialah.
1.      Diawali dengan penjelasan secara global akan kandungan dan juga dijelaskan tujuan paling mendasar (maqasid Al-Asasiah), serta pokok-pokok yang terkandung di dalam ayat-ayat yang dibahas.
2.      Mencari korelasi antara ayat-ayat yang mendahului atau lebih dahulu dengan ayat-ayat yang dapat dikatakan senada.
3.      Menjelaskan ayat dari segi tata bahasa arab.
4.      Menyebutkan sabab nuzul ayat-ayat yang memang memiliki latar belakang penurunan ayat.
5.      Menyampaikan penafsiran secara substansial (isi kandungan) potongan ayat serta keseluruhan ayat secara utuh.
6.      Dipaparkan aspek sastranya (balaghiyah)
7.      Memunculkan faidah-faidah dan makna inti dari ayat yang dibahas[10].
Adapun secara teknis dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh langkkah itu, sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dibahas dan diakhirnya terkadang ditambah dengan adanya penekanan mengenai hukum yang dibahas[11].

E.  Safwat At-Tafasir: Antara Gugatan dan Pembuktian
Hadirnya sebuah pemikiran tidakakan lepas dari pujian sekaligus kritik yang meresponnya. Terlebih buah pikiran itu datang dari ranah atau atmosfir agama. Sehingga sangatlah wajar jika kemudian buah pikiran yang muncul dan berkembang dari hasil pemahamannya terhadap simbol-simbol dan teks-teks keagamaan dapat dipastikan selalu memunculkan sebuah polemik, terlepas apakah itu luas atau tidak. Dalam hal ini tafsir Safwah At-Tafasir ada salah satu tafsir yang juga mengalami fenomena di atas. Tetapi dalam bagian ini yang akan diutarakan hanya berupa kritikan negatif dari ulama dan pemikir lain, untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan tafsir-tafsir yang lainya.
1.    Eksistensi Takwil Bathil dalam Shofwah at Tafasir
Menurut Syeikh Sholih bin Fauzan yang merupakan salah seorang ulama  asal Saudi, secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa dalam kitab Safwat At-Tafasir terdapat berbagai takwil yang bathil[12]. Ungkapan bombastis itu jelas selain tidak dapat diabaikan begitu saja juga tidak dapat diterima bulat-bulat tanpa kritik dan peninjauan lebih lanjut. Mengingat kitab Safwah Al-Tafasir merupakan kitab yang selain terkenal juga banyak dan sering digunakan oleh masyarakat—termasuk di dalamnya para akademisi. Kejelasan, kepadatan, bahasa yang mudah difahami—seperti yang sudah dijelaskan di atas—menjadi salah satu alasan familiarnya kitab tersebut di kalangan masyarakat, bahkan yang awam sekalipun. Maka dari itu perlu ditelisik lebih jauh sehingga kitab Safwah Al-Tafasir dapat ditempatkan dalam posisinya yang proporsional.
Sepanjang penelusuran penulis, terdapat beberapa penafsiran yang disinyalir menjadi alasan dan data sanggahan mengenai adanya takwil bathil dalam Safwah Al-Tafasir.  Salah satu penafsiran itu ialah ketika Ali As Shabuni memaparkan penafsirannya terhadap surah Al-Baqarah ayat 112.
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ .
Tidak! Barangsiapa menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhan-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 112)
Kritik datang karena menurut Sholih bin Fauzan Ali As Shabuni ketika menafsirkan kata wajhu telah mengutip penafsiran dari Fakhruddin Al-Razi. Adapun penafsirannya yaitu dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajah pada ayat itu adalah nafs. Sehingga penafsirannya dari kalimat wajah Allah menjadi memasrahkan diri untuk selalu taat kepadanya [13]. Penafsiran As Shabuni yang demikian itu didasarkan pada ayat yang berbunyi.
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Janganlah kamu menyembah tuhan selain Allah, tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, segala sesuatu pasti binasa kecuali dzat-Nya bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Al-Qasash[28] : 88)
Sedangkan menafsirkan wajah dengan nafs berdasar pada pengertian wajh pada ayat di atas dengan dzat-Nya[14],  menurut Sholih bin Fauzan mempunyai kecendrungan bahwa kata wajh untuk Allah dan untuk manusia sama, sehingga menurutnya pentakwilan As Shabuni ini adalah takwil yang bathil[15].
            Untuk lebih mendapat penjelasan logis mengenai takwil yang dilakukan Al-Razi—yang kemudian dikutip oleh As Shabuni—sebagai takwil bathil, maka hemat penulis ada baiknya jika merujuk pula para mufasir lainya dalam menafsirkan kata wajh. M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajh pada surah Al-Baqarah ayat 112 adalah.
Bagian yang termulia dari jasmani manusia. Pada wajah tedapat mata, hidung, dan mulut, atau lidah. Kegembiraan, kesedihan, amarah, dan sedih, bahkan semua emosi manusia dapat tampak melalui wajah. Wajah adalah gambaran identitas manusia, sekaligus menjadi lambang totalitasnya. Wajah adalah bagian termulia dari tubuh manusia yang tampak. Kalau yang termulia telah tunduk, maka yang lain pasti dengan serta merta turut tunduk pula. Siapa yang menyerahkan wajahnya secara tulus kepada Allah, dalam arti ikhlas beramal dan amal itu adalah amal yang baik, maka baginya ganjaran di sisi Tuhannya[16].

Jelas, dari pemaparan Quraish Shihab berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh As Shabuni. Jika kemudian As Shabuni mengatakan bahwa yang dimaksud wajh adalah nafs (jiwa), maka Quraish Shihab memilih tetap mendudukan kata wajh pada makna hakiki, yaitu wajah yang ada mata, hidung, dan lain sebagainya. Meskipun kemudian pada akhir penjelasan baik As Shabuni atau Quraish Shihab bermuara pada kesimpulan yang hampir sama, yaitu patuh, tunduk, dan pasarah sepenuhnya kepada Allah.
Ibu Katsir[17] dan Hasby As-Siddiqi[18] dalam menafsirkan kata wajah juga sama bermuara pada patuh, tulus, dan ikhlas kepada Allah. Meskipun dalam kedua kitab tafsir itu tidak disebutkan dengan jelas dan rinci alasan mengartikan makna wajh. Sehingga sampai di bagian ini dapat dikatakan bahwa baik As-Shabuni, Quriash Shihab, Ibnu Katsir, dan Hasby As-Siddiqi dalam menafsirkan kata wajh bermuara pada hal yang bisa dikatakan senada, yaitu patuh, tunduk, tulus, dan ikhlas kepada Allah. Semua itu terlepas dari metode dan pendekatan yang digunakan masing-masing mufasir dalam menafsirkan kalimat tersebut. Adapun khusus untuk penafsiran Ali As-Shabuni dan sanggahan dari Shalih bin Fauzan, dengan menyebutnya sebagai takwil bathil, maka sebenarnya hal itu masih bisa dikompromikan. Mengingat setelah dibandingkan dengan penafsiran yang lain, ternyata bermuara pada satu irama yang bermiripan.
2.      Percampur-adukan ideologi dalam Safwah At-Tafasir
Kritikan keras terhadap Safwah At-Tafasir tidak hanya terhenti melalui Sholih bin Fauzan, tetapi ada juga seorang ulama yang sampai menulis satu buku yang berisi kritikan terhadap As-Shabuni. Adalah Bakr Abu Zayd melalui bukunya yang berjudul Ar-Rudud menghantam Ali As-Shabuni melalui sesuatu yang lebih mendalam, yaitu permasalahan ideologi[19]. Berbeda dengan kritik yang pertama, pada bagian ini meski permasalahan lebih kompleks—karena menyangkut ideologi—tetapi dengan keterbatasan data, maka analisis dan contoh yang akan dipaparkan akan jauh lebih singkat.
Bakr Abu Zayd menuturkan bahwa di dalam Safwah At-Tafasir terjadi benturan ideologi yang sangat hebat. Hal ini—lanjut Bakr Abu Zayd—didasarkan pada sikap Ali As-Shabuni yang mengumpulkan berbagai ideologi ulama-ulama besar dalam kitab tafsirnya. Diawali dengan ideologi salafi yang diwakili oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi, dari Mu’tazilah dengan Al-Kasyaf  karya Zamakhsyari dan Asy’Ari yang diwakili oleh Ar-Razi[20]. Selanjutnya pada bagian selanjutnya akan dipaparkan bagaimana perbenturan itu terjadi.
Tingkat rasionalitas penafsiran kentara sekali terlihat manakala dua haluan ideologi—antara Salafi dan Mu’tazilah—sama-sama menafsirkan suatu surat atau bahkan ayat yang sama. Dalam hal ini penulis mengangkat surah Al-Fatihah ayat 5.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah [1]: 5)
Dalam menafsirkan kata na’budu, Zamakhsyari mengatakan—sebagaimana dikutip oleh As-Shabuni—bahwa ibadah lebih merupakan tujuan utama dari sebuah ketaatan, Oleh karena itu ibadah tidak ditujukan kecuali hanya kepada Allah. Karena selain hanya Allah yang pantas dan berhak diibadahi juga kerna hanya Allah yang paling berhak untuk disembah[21]. Dari penafsiran itu dapat diketahui bahwa Zamakhsyari dalam menafsirkan kata na’budu tidak berorientasi kepada penjelasan kebahasaan, tetapi lebih kepada maknanya yang luas dan mendalam. Kesan itu akan terasa berbeda jika kemudian disandingkan penafsiran yang berhaluan lain terhadap objek yang sama. Abu Ja’far Ath-Thabari dalam tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an ketika menafsirkan kalimat na’budu menyebutkan bahwa kalimat tersebut bermakna tunduk, patuh, merendahkan diri, dan mengakui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau[22].  
Contoh yang sekilas dipaparkan di atas, sedikit-banyak telah menjelaskan bagaimana perbedaan kecendrungan itu terjadi. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah, akan tetapi apa yang dikhawatirkan dan digelisahkan oleh Bakr Abu Zayd, adalah mengenai nasib dari kejelasan ideologi yang diambil dan dijadikan acuan oleh Ali As-Shabuni sendiri. Mengingat baik penafsiran Zamakhsyari atau Ath-Thabari, sama-sama terdapat dan mewarnai penafsiran dalam kitab Safwah At-Tafasir tersebut. Meskipun sebenarnya tidak otomatis bahwa ketika mufasir banyak mengutip berbagai penafsiran dari beberapa ideologi, mengindikasikan bahwa mufasir itu tidak jelas ideologinya. Karena jika kembali mengingat pembahasan pada bagian yang telah lalu, dapat ditemukan dengan jelas sekali bahwa Ali As-Shabuni menginginkan bahwa penafsirannya dapat dipakai dan berlaku bagi semua kalangan.

F.     Kritik Penulis Terhadap Tafsir Safwat At-Tafasir
Dari tafsiranya yang—memang—diharapkan supaya bisa dikonsumsi oleh masayarakat luas, Safwat At-Tafasir jika dilhat dari segi kekurangannya adalah tidak menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, tetapi hanya ayat-ayat yang mengandung hukum. Hal ini jelas, sedikitnya akan mempengaruhi para penikmat kitab tafsir ini, dimana para pembaca dalam mencoba memahami Al-Qur’an yang terbayang bahwa Al-Qur’an semua ayatnya adalah mengenai hukum. Selain itu dalam tafsir tersebut tidak diberitahukkan secara rinci mengenai jens kitab yang akan digunakan. Hal ini penting, mengingat tekad kuat dari Ash-Shabuni yang hendak membuat tafsir yang representatif dari semua kitab yang ada. Dengan adanya penjelasan mengenai jenis atau aliran kitab tafsir yang dimuat, maka disini pembaca setidaknya dapat memahami posisi mana yang lebih cocok untuk suatu keadaan tertentu.
Adapun dari sisi kelebihannya, kitab ini jelas sangat mudah difahami, karena penggunaan bahasa yang sederhana juga tidak berbelit-belit. Hemat penulis, kelebihan ini merupakan efek dari adanya metode penulisan tafsir yang sangat jelas dan meyakinkan, yaitu dengan tujuh langkah disertai pemaparan ayat dan penegasan di akhirnya. Selain itu, penulis kitab ini, dalam bahasa-bahasa yang digunakannya—terutama diakhir pembahasan—mencerminkan seorang yang sangat taat. Sehingga dapat sangat meyakinkan pembaca.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Syekh Muhammad Ali As Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni. Beliau lahir di kota Helb, Syiria pada tahun 1928 M. 
Adapun secara teknis dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh langkah (makna secara umum, munasabah dengan ayat lain, menjelaskan ayat dari segi tata bahasa, menyebutkan sabab nuzul ayat, menjelaskan makna inti, dipaparkan dari segi sastra, dan terakhir faidah-faidah ayat), sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dibahas dan diakhirnya terkadang ditambah dengan adanya penekanan mengenai hukum yang dibahas.
Terdapat berbagai kritikan yang bernada negatif tertuju kepada Safwah At-Tafasir, yaitu. pertama, datang dari seorang ulama asal Saudi yang bernama Sholih bin Fauzan yang mengatakan bahwa dalam Safwah At-Tafasir terdapat takwil yang bathil.  Kedua, kritikan keras datang dari Bakr Abu Zayd yang sampai mengarang buku yang berjudul Ar-Rudud. Kritik tersebut adalah terdapatnya perbenturan ideologi dalam penafsiran. Ideologi yang dimaksud yaitu antara Asy’ari, Mu’atazilah dab Salafi.












DAFTAR PUSTAKA


As-Shabuni, Muhammad Ali.  Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar Al-Faikr, 2001 M/ 1421 H
---------------------------------. Rawa’i’ Al-Bayan: Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar Ibnu ‘Abbud, 1425 H/2004 M
---------------------------------. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Muammal Hamidy & Imron A. Manan. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
As-Siddiqi, Hasby. Tafsir Al-Qur’an Madjied: An-Nur. Jakarta:Bulan Bintang, 1965
Hafidz, Subhan. Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com, diakses tanggal 14 September 2007
Imron, Ali. “Ideologi Terorisme Dalam Pemahaman Hadis”. dalam Islam, Tradisi dan Peradaban, editor. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012
Katsir, Ibnu. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Salim Bahreisy & Said Bahreisy,   Surabaya: Bina Ilmu,1993
Nikmah, Nurun. Muhammad ali al –Sabuni: studi terhadap kitab Tafsir Safwat al-Tafsir, Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Shihab, M. Quraush.  Tafsir A-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Yusuf, Muhammad.  Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul) dalam “Studi Tafsir Kontemporer”, editor: M. Alfatih Suryadilaga. Yogyakarta: TH-Press, 2006
Zahwa, Abu . Tafsir Surah Al-Fatihah Menurut 10 Ulama Besar Dunia. editor. Edy Fr & Fajar Inayati. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010





 




[1] Muhammad Ali Ash Shobuni, Safwah at-Tafasir, hal. 22
[2] Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al Quran di Indonesia, hal. 65
[3] Muhammad Ali Ash Shobuni, Safwah at-Tafasir, hal. 22
[4] Dalam kamus kata safwah bermakna “pilihan dari segala sesuatu” atau juga “jernih/kejernihan” lihat. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hlm. 748
[5] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul) dalam “Studi Tafsir Kontemporer”, editor: M. Alfatih Suryadilaga (Yogyakarta: TH-Press, 2006) hlm. 58
[6] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul).,hlm. 59
[7] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 60-61
[8] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul).,  62
[9] Lihat sistematika dan langkah penafsirannya ketika menafsirkan “Fatihatul Kitab” dalam. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa’i’ Al-Bayan: Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar Ibnu ‘Abbud, 1425 H/2004 M) jil. I, hlm. 17-44. Dapat juga dilihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Muammal Hamidy & Imron A. Manan (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985) jil. I, hlm. xviii
[10] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 63
[11] Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm, 64
[12] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com, diakses tanggal 14 September 2007. Selama pencarian penulis, untuk menemukan raferensi berupa buku mengenai kritik para ulama dan pemikir terhadap Safwah Al-Tafasir, sangat sulit mendapatkannya kecuali kritik dan penilaian yang baik-baik saja. Misalnya lihat. Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 75
[13] Muhammad Ali As Shabuni, Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar Al-Faikr, 2001 M/ 1421 H) jil. 1, hlm. 79
[14] Muhammad Ali As Shabuni, Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim., jil. 2, hlm. 412
[15] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com, diakses tanggal 14 September 2007
[16] M. Quraush Shihab, Tafsir A-Mishbah: Pesan, Kesan, dan KeserasianAl-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) jil. 1, hlm. 356-357
[17] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Salim Bahreisy & Said Bahreisy (Surabaya: Bina Ilmu,1993) jil. 1, hlm. 194
[18] Hasby As-Siddiqi, Tafsir Al-Qur’an Madjied: An-Nur (Jakarta:Bulan Bintang, 1965)  jil. 1, hlm. 255
[19] Untuk mengetahui penjelasan lebih jauh mengenai makna ideologi lihat. Ali Imron, “Ideologi Terorisme Dalam Pemahaman Hadis”, dalam Islam, Tradisi dan Peradaban, editor. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012) hlm. 112-119
[20] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com, diakses tanggal 14 September 2007
[21] Muhammad Ali As Shabuni, Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim., jil. 1, hlm. 19
[22] Abu Zahwa, Tafsir Surah Al-Fatihah Menurut 10 Ulama Besar Dunia, editor. Edy Fr & Fajar Inayati (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hlm. 624