Kamis, 07 November 2013

Tradisi Maulid Nabi Di Yogyakarta Dengan Pendekatan Sosiologi Agama

Masyarakat erat kaitannya dengan Agama, bahkan tidak dapat terpisahkan. Peran agama sangat dominan dalam membentuk pandangan hidup suatu masyarakat. Sehingga agama berfungi sebagai integrator antara suatu individu dengan realita sosial di sekitarnya.[1] Menurut Emile Durkheim, seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, bahwa agama dijadikan sebagai acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan. Tentunya dalam mengimplementasikan ajarannya, agama membutuhkan wadah yang dalam hal ini disebut dengan ruang sosial. Dan dialektika antara suatu individu dengan realita sosial di sekitarnya berada pada elemen ini. Berangkat dari teori sosiologi Emile Durkheim tersebut fenomena sosial yang menarik untuk dibahas adalah “Peringatan Maulid Nabi besar Muhammad Saw”. Yogyakarta.
Yogyakarta adalah salah satu daerah yang dipilih sebagai representasi keragaman keagamaan yang berbeda dan unik dibanding lainnya. Hal ini tersebab kentalnya titik persinggungan antara ajaran agama dan budaya. Sehingga tidak menafikkan bahwa Jogja memiliki varian tradisi keagamaan yang cukup variatif. Salah satunya adalah tradisi sekaten yang merupakan representasi penghayatan masyarakat muslim Jogja terhadap nilai ajaran agama yakni menghormati Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Seperti biasanya, sekatenan juga dimeriahkan dengan pasar malam dan hiburan lain pada malam hari selama dua bulan sebelum jatuhnya Peringatan Maulid Nabi yang berujung pada acara Grebeg.   
Dalam fakta sosial, sekaten merupakan penghayatan muslim jawa terhadap penghormatan atau pujian kepada Nabi Muhammad saw. Namun, bila merujuk kepada spirit nilai syiar terdahulu bahwa sekaten merupakan tafsir dari pada syahadatain yang digunakan para wali untuk mengislamkan masyarakat jawa saat itu. Terlepas dari itu, kita tidak memungkiri bahwa perayaan sekaten adalah bagian dari ritual keagamaan untuk kembali mengingat penting bersyukur dengan berbagai bersama sebagai ajaran baginda Rasulullah saw. Dengan adanya sekaten tersebut memberikan implikasi pentingnya menjaga perdamaian, kesatuan, persaudaraan dan lain sebagainya. Jadi, sekaten sebagai ritual keagamaan dapat dijadikan  pintu masuk membuang ego-ego kedirian maupun sosial. Hal ini selaras dengan pandangan Emile Durkheim yang menjelaskan bahwa ritual keagamaan adalah yang paling penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi institusional masyarakat.[2]
            Durkheim mempertegas pandangannya di atas dengan menganalogikan arti penting dari sebuah upacara kematian (pemakaman) sebagai mekanisme penilaian kembali solidaritas kelompok pada saat-saat ketegangan emosional yang tinggi. Jadi Durkheim mempelajari aspek-aspek tertentu dari hubungan spesifik antara agama dan struktur sosial. Dan menempatkan masalahnya pada perspektif fungsional yang berlainan dengan menerapkannya terhadap masyarakat secara keseluruhan sebagai abstraksi dari situasi khusus ketegangan dan kekacauan individual. Lebih jelasnya bahwa Durkheim tidak melihat pola-pola kognitif yang terkait pada agama sebagai pokok acuan yang esensial melainkan dilihat dalam hubungan fungsional dengan sejumlah unsur sistem sosial dari tindakan.[3]
            Fenomena Peringatan Maulid Nabi di Yogyakarta merupakan sebuah bentuk spirit yang dibangun untuk memahami agama secara simbolik. Karena inti emosi keagamaan tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan dan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sacral dalam fikiran dan jiwa para pemeluk agama yang bersangkutan, simbolisme, meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah tetapi mempunyai potensi istimewa. Karena lambing-lambang itu mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan lebih daripada sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai lambang tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah dan juga sampai sekarang merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk dipahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk mempererat persatuan antara para pemeluk agama di dunia.[4]
            Keunikan Kota Yogyakarta diantaranya terlihat pada acara Peringatan Maulid Nabi tiap tahunnya ini. Rentetan kegiatan yang dilakukan sebelum menjelang peringatan tersebutpun seolah menjadi representasi dari ajaran agama yang sebenarnya. Fenomena ini tidak terlepas dari Akulturasi antara Budaya Jawa dengan Ajaran Agama Islam yang menjadi spirit tersendiri dan mengkonstruksi pandangan hidup masyarakat Yogyakarta. Tepat dua bulan sebelum acara puncak, telah terbentuk sekatenan yang diselenggarakan di alun-alun utara. Acara ini dikemas tidak hanya sebagai pesta rakyat dengan pasar malam dan hiburan anak. Namun juga dengan memasukkan pesan inti dari acara tersebut lewat pagelaran wayang kulit. Dan ditutup dengan acara Grebeg di Kraton, yakni dengan membagi-bagikan hadiah dari tumpukan nasi tumpeng kepada masyarakat sekitar.
            Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Yogyakarta dengan budaya khasnya merupakan reward dari proses islamisasi yang dilakukan para wali. Dan membentuk nilai-nilai sosial yang sedemikian dakhsyatnya sampai saat ini. Sehingga  dapat dirasakan semua kalangan tanpa memandang status sosial. Namun faktanya kini,  tradisi ini hanya sebagai bentuk euforia saja. Acara sekatenan, tidak sedikit dari pengunjung yang hadir memaknainya hanya sebagai ajang berfoya-foya dan pasar malam saja. Sementara acara Grebeg, terkadang juga malah menimbulkan konflik antar individu karena saling berebut hadiah dan tidak jarang juga menimbulkan korban luka. Sejatinya   dikarenakan  ada hal yang terlupakan dan merupakan pesan inti (esensial) dari tradisi tersebut. Yakni pentingnya menjaga perdamaian, kesatuan, persaudaraan dan sebagai pintu masuk membuang ego-ego kedirian maupun sosial.






[1] Lihat Khozin, Refleksi Keberagamaan dari Kepekaan teologis Menuju Kepekaan Sosial, (UMM Press :Malang) 2004, hlm 54-55.
[2] Lihat Robertson, Roland, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta), 1998. hlm. 55-56.
[3] Lihat Robertson, Roland, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta), 1998. hlm. 56.
[4] Lihat K.Nottingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat “Suatu Pengantar Sosiologi Agama”, Cet IV (PT.Raja Grafindo: Jakarta)1993, hlm. 16-17.