Kamis, 07 November 2013

Tradisi Maulid Nabi Di Yogyakarta Dengan Pendekatan Sosiologi Agama

Masyarakat erat kaitannya dengan Agama, bahkan tidak dapat terpisahkan. Peran agama sangat dominan dalam membentuk pandangan hidup suatu masyarakat. Sehingga agama berfungi sebagai integrator antara suatu individu dengan realita sosial di sekitarnya.[1] Menurut Emile Durkheim, seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, bahwa agama dijadikan sebagai acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan. Tentunya dalam mengimplementasikan ajarannya, agama membutuhkan wadah yang dalam hal ini disebut dengan ruang sosial. Dan dialektika antara suatu individu dengan realita sosial di sekitarnya berada pada elemen ini. Berangkat dari teori sosiologi Emile Durkheim tersebut fenomena sosial yang menarik untuk dibahas adalah “Peringatan Maulid Nabi besar Muhammad Saw”. Yogyakarta.
Yogyakarta adalah salah satu daerah yang dipilih sebagai representasi keragaman keagamaan yang berbeda dan unik dibanding lainnya. Hal ini tersebab kentalnya titik persinggungan antara ajaran agama dan budaya. Sehingga tidak menafikkan bahwa Jogja memiliki varian tradisi keagamaan yang cukup variatif. Salah satunya adalah tradisi sekaten yang merupakan representasi penghayatan masyarakat muslim Jogja terhadap nilai ajaran agama yakni menghormati Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Seperti biasanya, sekatenan juga dimeriahkan dengan pasar malam dan hiburan lain pada malam hari selama dua bulan sebelum jatuhnya Peringatan Maulid Nabi yang berujung pada acara Grebeg.   
Dalam fakta sosial, sekaten merupakan penghayatan muslim jawa terhadap penghormatan atau pujian kepada Nabi Muhammad saw. Namun, bila merujuk kepada spirit nilai syiar terdahulu bahwa sekaten merupakan tafsir dari pada syahadatain yang digunakan para wali untuk mengislamkan masyarakat jawa saat itu. Terlepas dari itu, kita tidak memungkiri bahwa perayaan sekaten adalah bagian dari ritual keagamaan untuk kembali mengingat penting bersyukur dengan berbagai bersama sebagai ajaran baginda Rasulullah saw. Dengan adanya sekaten tersebut memberikan implikasi pentingnya menjaga perdamaian, kesatuan, persaudaraan dan lain sebagainya. Jadi, sekaten sebagai ritual keagamaan dapat dijadikan  pintu masuk membuang ego-ego kedirian maupun sosial. Hal ini selaras dengan pandangan Emile Durkheim yang menjelaskan bahwa ritual keagamaan adalah yang paling penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi institusional masyarakat.[2]
            Durkheim mempertegas pandangannya di atas dengan menganalogikan arti penting dari sebuah upacara kematian (pemakaman) sebagai mekanisme penilaian kembali solidaritas kelompok pada saat-saat ketegangan emosional yang tinggi. Jadi Durkheim mempelajari aspek-aspek tertentu dari hubungan spesifik antara agama dan struktur sosial. Dan menempatkan masalahnya pada perspektif fungsional yang berlainan dengan menerapkannya terhadap masyarakat secara keseluruhan sebagai abstraksi dari situasi khusus ketegangan dan kekacauan individual. Lebih jelasnya bahwa Durkheim tidak melihat pola-pola kognitif yang terkait pada agama sebagai pokok acuan yang esensial melainkan dilihat dalam hubungan fungsional dengan sejumlah unsur sistem sosial dari tindakan.[3]
            Fenomena Peringatan Maulid Nabi di Yogyakarta merupakan sebuah bentuk spirit yang dibangun untuk memahami agama secara simbolik. Karena inti emosi keagamaan tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan dan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sacral dalam fikiran dan jiwa para pemeluk agama yang bersangkutan, simbolisme, meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah tetapi mempunyai potensi istimewa. Karena lambing-lambang itu mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan lebih daripada sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai lambang tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah dan juga sampai sekarang merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk dipahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk mempererat persatuan antara para pemeluk agama di dunia.[4]
            Keunikan Kota Yogyakarta diantaranya terlihat pada acara Peringatan Maulid Nabi tiap tahunnya ini. Rentetan kegiatan yang dilakukan sebelum menjelang peringatan tersebutpun seolah menjadi representasi dari ajaran agama yang sebenarnya. Fenomena ini tidak terlepas dari Akulturasi antara Budaya Jawa dengan Ajaran Agama Islam yang menjadi spirit tersendiri dan mengkonstruksi pandangan hidup masyarakat Yogyakarta. Tepat dua bulan sebelum acara puncak, telah terbentuk sekatenan yang diselenggarakan di alun-alun utara. Acara ini dikemas tidak hanya sebagai pesta rakyat dengan pasar malam dan hiburan anak. Namun juga dengan memasukkan pesan inti dari acara tersebut lewat pagelaran wayang kulit. Dan ditutup dengan acara Grebeg di Kraton, yakni dengan membagi-bagikan hadiah dari tumpukan nasi tumpeng kepada masyarakat sekitar.
            Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Yogyakarta dengan budaya khasnya merupakan reward dari proses islamisasi yang dilakukan para wali. Dan membentuk nilai-nilai sosial yang sedemikian dakhsyatnya sampai saat ini. Sehingga  dapat dirasakan semua kalangan tanpa memandang status sosial. Namun faktanya kini,  tradisi ini hanya sebagai bentuk euforia saja. Acara sekatenan, tidak sedikit dari pengunjung yang hadir memaknainya hanya sebagai ajang berfoya-foya dan pasar malam saja. Sementara acara Grebeg, terkadang juga malah menimbulkan konflik antar individu karena saling berebut hadiah dan tidak jarang juga menimbulkan korban luka. Sejatinya   dikarenakan  ada hal yang terlupakan dan merupakan pesan inti (esensial) dari tradisi tersebut. Yakni pentingnya menjaga perdamaian, kesatuan, persaudaraan dan sebagai pintu masuk membuang ego-ego kedirian maupun sosial.






[1] Lihat Khozin, Refleksi Keberagamaan dari Kepekaan teologis Menuju Kepekaan Sosial, (UMM Press :Malang) 2004, hlm 54-55.
[2] Lihat Robertson, Roland, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta), 1998. hlm. 55-56.
[3] Lihat Robertson, Roland, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta), 1998. hlm. 56.
[4] Lihat K.Nottingham, Elizabeth, Agama dan Masyarakat “Suatu Pengantar Sosiologi Agama”, Cet IV (PT.Raja Grafindo: Jakarta)1993, hlm. 16-17.

Kamis, 24 Oktober 2013

Have a Nice Flight

“Have a nice filght” aku tak tahu pasti arti sebenarnya, cuman enak di dengar di telinga. Tiada hentinya diucapkan pramugari anggun di depan microphonenya tiap saat lepas landas. Itu pulalah yang kunantikan. Kini aku bersiap di waiting room. Hanya memandang-mandang saja. Kau tau kawan apa yang ku pandangi? Sama sekali tidak.

Aku bukan memandangi keindahan tuhan ini, hanya putih dan sedikit buram yang kulihat, seperti lampu club yang memudar warna-warni di hadapanku. Aku tidak mabuk, aku tidak sedang sakit. Tapi aku sedang kehilangan diriku. Di dalam “waiting room ini”, di tengah keramaian passangger, aku kehilangan diriku.

Aku yakin, kalau itu yang bikin aku menyadari beberapa perlakuanku selama ini. Mungkin masih ada kewajibanku yang belum ku tunai, hura-hura, hak orang lain, atau apapun itu. Mungkin ini balasannya. Terimakasih tuhan yang kian mengingatkanku. Aku harus memulihkan kembali gairahku di jejeran bangku besi ini. Tiba-tiba saja blackberry unikku berdering, one massage receive. Terpampang nama temanku. Kok tumben, pikirku.

“selamat jalan saudaraku.. take care and Have a nice flight with your flying partner” indah sekali kata-katanya kawan. Entah apa maksud sms nya itu, apa hanya sekedar ucapan selamat, atau sekedar leluconan, atau ngece? Aku tak ambil pusing, I’m replied.Ada sedikit kedamaian mengalir di tubuh ini. Disamping harus mencari sebagian hidupku, masih ada sms tak penting yang mencoba menghibur si hitam ini (baca: blackberry).

Ternyata hidup itu tak seindah kata-kata kawan. Saat ini aku merasakannya, aku mengalaminya, tak semudah itu bisa bangkit. Perlahan ku coba untuk menghibur diri dengan perkataan bijak yang kuingat-ingat, tak bisa langsung berubah. Bullshit! Ah, mungkin aku-nya yang belum memahaminya.

Mungkin aku terlalu tergesa dengan nafsu. Mungkin aku terlalu dini untuk mengikuti perkataan mereka. aku coba menanangkan diri, merenung tak peduli. Hanya tuhan yang bisa menangkan hati ini. Hanya kepadanya segala urusan kembali.Kau tau kawan apa sedang terjadi padaku? Aku mencoba membalas massage-nya memberitahu

“aku ketinggalan pesawat bro, ini lagi nunggu pesawat selanjutnya, jam 11.20 insya allah take off, sedekahku kurang men, ketinggalan pesawat deh jadinya” aku sedikit menghibur diri.Aku mulai mengerti seberapa besarnya harga waktu, bahkan tak dapat di beli dengan uang, sempat-sempatnya aku berkilah begini:“Mau tahu seberapa berharganya nilai waktu 1 menit? Tanyalah dengan orang yang ketinggalan pesawat” hahaha

By : Sahabat Ku yang Luar Biasa "Ikhlas dan Mas Estu"

Tafsir Era Tabi'in dan Tabi' Tabiin



A.    Latar Belakang Masalah

Tafsir sahabat berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh sahabat yang dulunya menjadi guru dari pada tabi’in dan digantikan dengan tafsir para tabi’in. para tabi’in selalu mengikuti jejak guru-gurunya yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an khususnya mengenai ayat-ayat yang tersembunyi pengertianya bagi umumnya orang. Penafsiran Rasulullah dan para sahabat yang tidak mencakup semua ayat al-Qur’an dan hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang sesame denganya, menjadikan munculnya problem baru, yakni bertambahnya persoalan-persoalan yang sulit dipahami orang-orang sesudah mereka karena rentang waktu dan tempat yang panjang. Oleh karena itu, para tabi’in yang menekuni bidang tafsir mereka perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka amenambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu munculah generasi sesudah tabi,in yaitu para tabi’ tabi’in.
Generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan bedasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata , peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarjana yang lainya.[1] Untuk itu perlu kiranya membahas lebih lanjut tentang tafsir dimasa tabi’in.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan oleh penyusun di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Bagaimanakah Karakteristik Penafsiran pada era tabi’in beserta sumber penafsirannyaa
2)      Siapakah Mufassir di era Tabi’in beserta aliran-alirannya?
3)      Bagaimanakah Karakteristik Tabi’ Tabi’in dalam menafsirkan ayat al Qur’an ?


PEMBAHASAN

A.    Mufassir Era Tabi’in
Ketika zaman sahabat telah berlalu, tersebarlah dalam kalangan tabi’in ulama’-ulama’ yang menerima riwayat-riwayat dari sahabat itu. Karena semakin luasnya ekspansi Negara Islam, mempengaruhi juga tersebarnya para sahabat didaerah-daerah tertentu. Dan setiap sahabat mebawa ilmu maka banyak melahirkan murid-murid yang banayak, daari ini timbulah aliran-aliran dan perguruan tafsir, sesuai denga konteks geografi snya (Dr.H. Abdul Mustaqim. 2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
Tabi’in yang terkenal adalah murid-murid Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas ialah Mujahid Ibn Jabr, Atha’ ibn Abi Rahah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas dan yang paling banyak meriwayatkan dairi  Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan  yang paling sedikit adalah Mujahid, kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Alqamah an;Nakha’y, Masruq ibn Al-Ajda’ al-Hamdany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan al-Aswad ibn Yazid an-Nakha’y.
 Pada masa tabi’in aliran-aliran tafsir dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok :
1.      Aliran makkah, aliran ini didirikan oleh murid-murid sahabat Abdullah ibn ‘Abbas seperti : Said ibn Jubair, Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani. mereka semua berasal dari hamba sahaya yang sudah di merdekakan . aliran ini berasal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkahyang menafsirkan al-Qur’an kepada Tabi’in denga menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabi’in kemudian meriwaatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya kemudia mentrasferkan kegenerasi berikutnya. Aliran ini berbeda-beda dalam pemakaian qira’ah contoh Said Ibn Jubair kadang memakai qira’ah Ibnu Abbas, kadang memakai qira’ahnya Ibnu Mas’ud dan kadang memakai qira’ahnya Zaid bin Tsabit. Dalam metode penafsiran, aliran ini memakai dasar aqli (ra’yi). (Dr.H. Abdul Mustaqim. 2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
2.      Aliran Madinah, aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinah dan selanjutnya diteruskan oleh Tabi’in Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Aliran tafsir madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah rasul yang diikuti oleh para tabi’in sebagai murid-murid sahabat melalui ubay bin ka’ab. Melalui beliaulah para tabi’in banyak menafsirkan al-Qur’an yang seterusnya disebar luaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita.
Pada aliran tafsir madinah telah ada system penulisan pada naskah-naskah dari ubay bin ka’ab lewat abu ‘Aliyah dari Rabi’ dari Abu Ja’far al-Razi. Demikian juga ibu jarir, ibnu abi hatim dan  al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari ubay lewat abu ‘Aliyah. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil pada ayat-ayat al-Qur’an. Dengan kata lain, pada aliran tafsir di Madinah ini juga telah timbul penafsiran bir ra’yi. Kalau demikian , sebenarnya tafsir bir ra’yi tidakl perlu di jauhi sepanjang memiliki argumentasi yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.
3.      Aliran Irak aliran ini dipelopori oleh Abdullah ibn Mas’ud (dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) dan dilindungi oleh Gubernur irak ‘Ammar bin Yasir, serta di dukung oleh tabi’in di Irak seperti ‘Alqomah bin qois, masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al-Hamdani, amir al-Syab’bi, Hasan al-Basri, Qatadah bin Di’amah.
Berangkat dari penunjukan Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai gubernur di Kuffah, dan  ibnu Mas’ud sebagai ulama di Kuffah, penafsiran al-Qur’an ibnu Mas’ud banyak di ikuti oleh tabi’in Irak , yang kemudian di lanjutkan kepada generasi selanjutnya.
Secara gelobal, aliran ini banyak bersifat ra’yi, dan hal ini wajar, karena jauh dari pusat study hadis yang ada di Madinah. Sebagai akibatnya , maka timbul banyak masalah khalifah dalam menafsirkan al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan maetode istid-lal (mengambil ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Bahkan mulai muncul pula sektarianisme ideologi, seperti yang di nisbatkan kepada imam Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi yang bernilai berbau aliran Qadariyyah, karena terlalu ketika iya berbicara masalah qada dan qadar. Itulah sebabnya sebagian orang enggan untuk mengambil riwayat darinya. Demikian pula, kita jumpai Hasan al-Basri yanga begitu tegas menetapkan adanya qadar dalam al-Qur’an sehingga iya mengkafirkan pihak yang menolaknya. Munculnya perbedaan itu, sejauh masih pada masalah khalifah furu’ atau cabang adalah sah-sah saja dan tidak menjadi masalah, bahkan dapat menjadi rahmah jika masing-masing dapat saling menghargai.
Ibn taimiyyah berkata “ sepandai-pandai ulama tabi’in dalam urusan tafsir ialah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama’-ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan Malik bin Anas”.[2] Yang paling terkenal menurut Ibn Taimiyyah dikalangan tabi’in adalah Mujahid dan Sa’id ibn Jubair, dia berkata “oleh karena mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar, berpeganglah Asy-Syafi’I dan al-Bukhary kepadanya.” Annawawy berkata”apabila kamu telah mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu”.
Namun sebagian ulama’ tidak menerima tafsir Mujahid, dengan alasan bahwa beliau banyak bertanyak dengan ahli kitab. Sufyan ats-Tsaury berkata : “ Ambilah tafsir al-Qur’an dari empat ulama besar yaitu Sa’id ibn Juabair, Mujahid, Ikrimah dan Dhahak ibn Muhazim”.

B. Sumber tafsir tabi’in
Dalam penafsiran dengan ijtihad mengalami perbedaan antara menerima dan tidaknya terjadi dikalangan sahabat maupun tabi’in. diantara tabi’in yang menolah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad adalah Sa’id ibn Musayyab dan Ibnu Sirin. Kemudian yang membolehkan diantaranya Mujahid,Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Oleh karena itu timbulah perbedaan antara tafsir dan ta’wil. Tafsir ialah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan dasar naqal yang diterima dari Rasul dan dari para sahabat. Takwil ialah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad melalui pengertian yang dalam mengenai makna kata-kata tunggal  dan petunjuk-petyunjuk bahasa.[3]
Ringkasnya ulama’ tabi’in terbagi atas dua golongan, karena itu terdapat dua manhaj (ALIRAN) yaitu manhaj muhadditsin, menafsirkan dengan manqul dan manhaj aqliyyin (ijtihadiyyin)
Para mufassir dimasa ini (tabi’in)dalam menafsirkan al-Qur’an dengan sumber-sumber sebagai berikut :
1.      Ayat al-Qur’an
2.      Hadis Nabi Muhammad
3.      Pendapat para sahabat
4.      Keterangan dari ahli kitab baik yahudi maupun Nasrani
5.      Ijtihad para tabi’in sendiri.
Metode yang dipakai para tabi’in tidak jauh beda dengan apa yang dipakai oleh sahabat namun, pada masa tabi’in ini banyak dirasuki kisah-kisah israilliyat, terlebih ketika itu terjadi pemotongan sanad dan pemalsuan hadis. Sehingga ketika membaca kisah israilliyat harus hati-hati.
Ijtihad dijadikan salah satu metode penafsiran yang melatar belakangi diantaranya adalah :
1.      Karena penafsiran yang dilakukan sahabat belum mencakup semua ayat-ayat al-Qur’an
2.      Jauhnya mereka dari pusat studi hadis, sehingga mereka tidak mendapatkan hadis dan qawl sahabat, mereka menggunakan ra’yu untuk berijtihad memahami al-Qur’an.

C. Karakteristik Tafsir Tabi’in
Di masa ini corak tafsir bil riwayah masih mendominasi penafsiran para tabi’in. Karena para tabi’in meriwayatkan tafsir dari sahabat sebagaiman juga para tabi’in sendiri saling meriwayatkan satu sama lain. Meskipun sudah muncul ra’yu dalam menafsirkan al-qur’an, tetapi unsur periwayatan lebih dominan. Adapun karakteristik tafsir di erah tabi’in secara ringkas, sebagai berikut :
·         Pada masa ini tafsir belum terkodifikasikan secara independen
·         Tradisi tafsir bersifat hapalan melalui periwayatan
·         Tafsir sudah dimasuki israillyat, karena pada tabiin berkeinginan untuk mencari penjelasan yang obyektif mengenai berita dalam Al-qur’an
·         Bermunculan benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya
·         Banyak perbedaan pendapat pada penafsiran tabi’in dan sahabat[4]
Pada era ini, cerita-cerita irailiyyat banyak masuk tradisi penafsiran karena setelah banyak ahli kitab masuk islam, para tabi’in banyak yang menukil kisah-kisah israiliyyat ke dalam tafsir seperti tafsir yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Akbar dan lain sebagainya. Cerita israiliyyat biasanya berhubung dengan penciptaan alam rahasia-rahasia makhluk yang ada dalamnya dan cerita-cerita Nabi dengan ummatnya terdahulu.
Adapun penafsiran Mujahid, murid dari Ibnu Abbas akan tetapi penafsiranya kental dengan nuansa penafsiran Ibnu Mas’ud yang bercorak Rasional.[5]
Mujahid menafsirkan : tidak secara tekstual, yang berarti mereka dirubah menjadi kera yang hina. Akan tetapi penafsiranya dengan sebuah kalam Matsal ( perumpamaan ), yang berarti merubah hati atau kelakuan mereka menjadi hina seperti halnya kera.[6]

  1. Tafsir Tabi’ Tabi’in
Setelah periode shahabat beserta tabi’in, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa ( Khalifah ) yang berkuasa pada saat itu ( masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah ).[7] Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (66-101 H., mulai berkuasa pada tahun 99 H.) yang memulai melakukan penerapan kebijakan pembukuan terhadap Hadis-hadis Nabi Saw.[8]
Kebijakan Dinasti Abbasiyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa Dinasti Abbasiyah perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti ilmu Gramatika Arab ( nahw-sharf), hadis, sejarah ilmu kalam dan lainya mendapat perhatian yang cukup besar.[9] Mulai periode ini dan periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadis Nabi Saw, Shahabat, dan tabiin (naql,riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar-ijtihad (aqli).[10]
Di era tabi’i tabi’in, mereka hanya meneruskan ilmu yang diterima dari para tabi’in dengan mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran ulama terdahulu kemudian diterangkan ke dalam kitab-kitab tafsir. Seperti yang dilakukan Sufyan bin Uyainah ( w. 198 H ), Abdurrazzaq bin Hammam ( w. 211 H ), Yazid bin Harun assulamy (w. 117 H), dan lain-lain.[11] Namun Tafsir pada golongan ini tidak ada sedikitpun yang sampai kepada kita, yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka seperti yang termuat dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Secara epistemologi terjadi pergeseran mengenai rujukan penafsiran antara era shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Pada masa shahabat, mereka tidak tertarik mengggunakan riwayat-riwayat isra’iliyyat dari ahli kitab, sedangkan tabi’in mulai banyak menggunakan sumber-sumber isra’iliyyat terutama untuk menafsirkan ayat-ayat yang berupa kisah yang diceritakan al-Qur’an secara global. Dan penafsiran seperti ini berkembang sampai tahun 150an Hijriyah dan era ini disebut era formatif. Sehingga  pada masa ini al-Qur’an relatif masih sangat terbuka untuk ditafsirkan dan belum banyak mainstream pemikiran yang berbeda, kecuali beberapa kasus saja yang ada di masa tabi’in.





[1] Al-Dzahabi,at-tafsir wa al-mufassirun,juz I, hlm. 99-100.
[2] Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,  2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 186.
[3] Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an .......,  2002. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 188.

[4] Al-dzahabi, al-Tafsir......, Jilid I, hlm 131.
[5] Al-dzahabi, al-Tafsir......, Vol I, hlm 80.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim Vol I, h. 436. Kumpulan tafsir-afsir mujahid yang belum dibukukan pada masanya, belakangan sudah diterbitkan dengan nama Tafsir Mujahid yang dicetak dua volume. Lihat Su’ud Ibn Abdillah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirun : Asbabuhu wa Atsaruhu, ( Riyadh : Dar Isybilia, 1997 ), h. 41.
[7] Forum Karya Ilmiyah Purna Siswa 2011 Lirboyo, al-Qur’an Kita, Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, hlm. 211.
[8] Lihat Su’ud bin Abdillah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin: Asbabuhu wa Atsaruhu, hlm. 39.
[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, vol. II, hlm. 149.
[10] Forum Karya Ilmiyah Purna Siswa 2011 Lirboyo, al-Qur’an Kita,.........., hlm. 213.
[11] Baddruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan, Juz II, hlm. 159.

Tafsir Sastra Amin al Khuli


ABSTRACT
Gagasan pemikiran inovatif dalam dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara Barat, mereka maju dengan pesatnya. Ide cemerlang dan progessif harus disadari betul oleh kaum muslim, khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.

Kata Kunci : al Kitab al ‘Araby al akbar, Dirasah ma haula an Nash, Dirasah ma fi an Nash







  

  
A.    Biografi Amin al Khuli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli lahir 1 mei  1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[1] Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah, Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin.[2]
Kakek Amin al-Khuli adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal Al-qur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat ”18 bulan”. Pada tahun 1957 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an[3].
Karena banyak mengkaji Ilmu  Bahasa dan Sastra, al khuli menjadi redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al Qur’an pada kajian tematis dan menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil  tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al Qur’an.[4] Al Khuli yang mengajar Tafsir al Qur’an di Universitas Mesir di Giza, adalah sarjana Mesir yang menemukan jalan keluar dari dilematika antara filologi dan pengetahuan. Di dalam penafsirannya mengenai tafsir al Qur’an dan sejarah, ia telah mengembangkan suatu teori mengenai hubungan antara filologi dan penafsiran al Qur’an yang sangat berpengaruh di Mesir.
B.     Karya-Karya Amin al Khuli (w. 1967)
Sebenarnya, Al Khuli bukanlah seorang penulis yang produktif seperti halnya cendikiawan-cendikiawan Mesir lainnya, seperti Mahmud Syaltut (1893-1963), Abbas Mahmud al Aqqad (1889-1964) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, karya beliau yaang berhubungan dengan teori penafsiran al Qur’an sering dijadikan sebagai rujukan banyak orang hinnga sekarang karena ia dipandang sebagai rancang bangun metodologi baru, dimana aplikasi metode tersebut diterapkan secara produktif oleh murid sekaligus istrinya, ‘Aisyah ‘Abd Rahmad Bint Syati’.[5]
Diantara beberapa karya beliau adalah sebagai berikut[6] :
1.      Fi al- Adab al- Misri : Fikr wa Manhaj
2.      Al- Mujaddidun fi al- Islam ‘Ala asas Kitabay : al- Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at Li al- Suyuti wa Bugyat al- Muqtadin wa Minhat al- Mujiddin ‘Ala Tuhfat al- Muhtadin li al- Maraghi al- Jurjawi
3.      Silat al- Islam bi Islah al- Masihiyyah
4.      Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab
5.      Min Huda al- Qur’an : Fi Amwalihim Misaliyyah
6.      Min Huda al- Qur’an : Fi Ramadhan
7.      Mu’jam Alfaz al- Qur’an al- Karim
8.      Min Huda al- Qur’an : al- Qadat al- Rusul
9.      Min Huda al- Qur’an : al- Qard al- Hasan
10.  Al- Jundiyah wa al- Salam
11.  Min Huda al- Qur’an : Musykilat Hayatina al- Lughawiyyah
12.  Fann al- Qawl


Sayangnya, tidak pernah menerbitkan karya tafsir. Namun banyak Tulisannya mengenai al-Qur’an, salah satunya Manahij at tajdid, sangat besar peranannya dalam memecahkan problem antara filologi dan edufikasi makna dalam penafsiran. Dapat dipahami mengapa beliau tidak pernah menulis tafsir, karena atmosfir di mesir pada era 40-an tidak mendukung. Sebagai fakta, ketika ia ditunjuk sebagai ketua proyek penafsiran al Qur’an di Mesir di Giza. ia menjadi promotor dari disertasi Muhammad Ahmad Khalafallah yang mempertahankan pendapat bahwa kisah-kisah yang disampaikan al-Qur’an mengenai nabi-nabi yang mendahului Muhammad saw. secara historis tidak benar. Akibat dari pendapatnya ini, terjadi perdebatan di Mesir dan menjadikan Amin al Khuli sebagai promotor danKhalafallah dituduh murtad. Sampai akhir hayatnya, beliau tidakmeninggalkan satu pekerjaan yang “selesai” kecuali satu kumpulanpendapatnya yang berjudul Min Huda al Qur’an. Di kemudian hari, bungarampai karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka Umum Mesir hingga mencapai 10 volume. Di antaranya yang paling terkenal berjudul Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab.[7]

C.    Al Qur’an sebagai Kitab Sastra
Dalam khazanah Ilmu-ilmu al Qur’an, menurut Amin Abdullah, terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk memahami al Qur’an yakni, Tafsir dan Takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini, teks ini dijadikan subyek. Sedangkan Takwil, adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepatnya disebut dengan pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai obyek kajian.[8] Artinya perbedaan yang mendasar dalam memahami al Qur’an adalah meletakkan al Qur’an pada posisinya. Saat ia diposisikan sebagai subyek ataukah obyek dari sebuah pemahaman, begitu juga diskursus al Qur’an.
Lain halnya dengan Amin al Khuli, beliau menyatakan bahwa status al Qur’an berpijak pada pertimbangan bahwa: secara historis, al Qur’an diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Arab dijadikan sebagai kode yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Al Khuli menekankan bahwa ke-Arab-an al Qur’an hendaknya diperhatikan terlebih dahulu daripada hal-hal lain yang memiliki unsur religius ataupun tidak. Berangkat dari hal ini juga, al Khuli mendefinisikan tafsir sebagai kajian sastra yang kritis dengan menggunakan metode yang valid dan bisa diterima. Al- Khuli memposisikan al- Qur’an sebagai teks suci atau sebagai “dokumen” sastra suci. Disamping itu juga al- Qur’an di kategorikan sebagai kitab berbahasa Arab yang banyak memliki nilai-nilai trans-historis dan trans-kultural. Dengan kata lain penyusun menyimpulkan bahwa al- Qur’an menurut Amin al-Khuli adalah merupakan kitab hidayah, berbahasa Arab dan memiliki nilai sastra yang tinggi dengan pesan-pesan secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan segala fungsinya yang trans-historis dan trans-kultural. Untuk itu, terdapat beberapa aspek pemahaman mengenai al- Qur’an. Pertama, al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Kedua, al- Qur’an sebagai dokumen yang berisikan pesan-pesan dari Allah SWT. Ketiga, al- Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai trans-historis dan trans-kultural.  
Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur pembangunan yang secara bersamaan membentuk sebuah totalitas karya sastra. Disamping unsur bahasa, masih banyak lagi unsur yang lainnya yang ikut serta dicermati dari sebuah karya sastra. Secara garis besar, unsur sastra dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : instrinsik dan ekstrintik. Unsur Instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur ini adalah yang menyebabkan ide atau gagasan imajiner hadir sebagai karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya itu sendiri. Yang termasuk unsur ini adalah : kejiwaan/ psikologi, sosiologi, politik dan sejarah.
Dalam hal ini al- Khuli termasuk pada kajian sastra yang berunsur ekstrinsik dalam hal epistemologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks harus benar-benar dipahami secra natural. Artinya bahwa setiap teks harus bisa menafsirkan dirinya sendiri dengan menggunakan keistimewaan teks itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut faktor psikologis teks dan juga penafsir harus benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.[9]

D.    Metodelogi Penafsiran
Tujuan pertama ilmu tafsir menurut Amin al Khuli adalah melakukan kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab yang teragung (al Kitab al ‘Araby al akbar) dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar. Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum seorang mufassir  melangkah ke tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan al Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi yang tepat, kelengkapan aspek dan kesinkronan distribusi pemahaman.[10]
Al Khuli juga menyatakan bahwa secara ideal, studi tafsir al Qur’an harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama tentang latar belakang al Qur’an, tentang sejarah kelahirannya dan tentang masyarakat dimana ia diturunkan dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh al Qur’an tersebut. Kedua, penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan melihat kitab-kitab tafsir terdahulu.
Penekanan pada pentingnya latar belakang historis mengapresiasi secara benar makna literal al Qur’an berarti pemegangan terhadap prinsip e mente auctoris, yang menyatakan bahwa penafsiran dinyatakan tidak sempurna jika tidak mampu mengungkap makna dari pengarangnya. Karena al Qur’an bukan karangan dari seseorang melainkan “karangan Tuhan”, maka penerapan prinsip ini adalah penekanan yang sangat bahwa al Qur’an harus dipahami secara komprehensif dengan  memahami masyarakat yang menjadi tujuan pertama kali al Qur’an diwahyukan.[11]
Dalam bahasa yang sederhana, konsep al Khuli dalam tafsir sastra mencakup dua hal, yaitu pengkajian di sekitar al Qur’an dan pengkajian di dalam al Qur’an. Yang pertama, Dirasah ma haula an Nash, dilakukan dengan mengkaji segala hal yang berada di sekitar kitab suci yang tampak selama sekitar dua puluh tahun masa diturunkannya, periode penulisannya serta pengumpulan dan penyebarannya. Sedangkan yang kedua, Dirasah ma haula fi Nash, akan membahas kosa kata yang ada dalam teks kemudian membahan susuna kata tersebut dalam kalimat dengan menggunakan  berbagai ilmu bahasa yang ada.[12] 
Al-Khuli telah membuat rumusan tahapan sebagai kerangka operasional penerapan dua hal di atas yakni, Pertama, sarjana yang ingin menulis tafsir al-Qur’an hendaknya memperhatikan semua ayat yang membicarakan suatu subjek dan tidak hanya membatasi pada penafsiran satu ayat saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain dalam topik yang sama[13]. Kedua, sarjana tersebut perlu melakukan studi dengan cermat dan teliti atas setiap lafal al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik (kajian leksikal) melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya paralel al-Qur’an dari lafal atau masadir yang sama, Ketiga, mufassir seharusnya menganalisis bagaimana al-Qur’an menggabungkan lafal-lafal ke dalam kalimat serta hendaknya menjelaskan efek psikologis bahasa al-Qur’an terhadap para pendengarnya[14].

E.      Penafsiran Bercorak Sastra al Khuli

Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi yang mengambil metode dari Suaminya dengan  pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan di indera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.




[1] Lihat M. Aunul Abied Shah, “Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah  Biografi Intelektual” (Bandung : Mizan, 2001) hlm. 131.
[2] M. Aunul Abied Shah, ..... hlm. 131- 132.
[4] Lihat M. Aunul Abied Shah, ..... hlm . 132.
[5] Bin Syati’, al tafsir al Bayani Li al Qur’an al Kari, Vol I (Kairo : Dar al- Ma’rifah, 1972), hlm 10-11
[6] Lihat Nur Syafa’atin, “Konsep Harta dalam Al- Qur’an Menurut Amin al- Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2005. Hlm 16-17
[7] Lihat M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli ..... hlm . 134.
[8] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2011. Hlm 43-44.
[9] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”  Hlm. 49-50
[10] Lihat M. Aunul Abied Shah, ..... hlm . 140-141.
[11] Aan Radiana dan Abdul Munir, “Analisis Linguistik”, hlm. 298.
[12] Amin al Khuli, Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab (Qahirah dar al-Ma’rifat : 1961), hlm. 310-312.
[13] Misal ketika berbicara tentang Adam, maka tidak cukup hanya merujuk pada surat 2: 30 tetapi juga surat 7: 10, 15: 28, dan 18: 45.
[14] Dalam analisis al-Khuli, terdapat hubungan yang erat antara ilmu Balagah dan Psikologi, yang menunjukkan urgensi interpretasi psikis terhadap teks al-Qur’an, yang harus ditetapkan secara maksimal sesuai dengan kemampuan sesorang dan kemajuan psikologi itu sendiri. Penetapan itu baik menyingkap akselerasi jiwa manusia dan dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan pembahasan al-Qur’an: kepercayaan agama, keyakinan akidah, olah perasaan, warisan sejarah, dan pemikiran masa lampau serta tuntutan reaktualisasi yang sesuai dengan zaman.