TAFSIR TENTANG AYAT AHLI KITAB
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ayat Sosial
Dosen pengampu : Dr. H. Mahfudz Masduki,
M.A
Disusun
Oleh :
Ulva Khalidatul Jannah
11530120
Rizky Dimas Pratama
11530127
Erwanda Safitri
12530004
Fatikhatur Rafi’un Nisak
12530006
PRODI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN
PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
PERIODE 2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ahli Kitab secara etimologi berasal dari dua suku kata
yaitu kata Ahli yang merupakan serapan dari bahasa Arab
dan kitab. Kata ahl adalah bentuk kata benda (isim) dari
kata kerja (Fi’il) yaitu kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl yang
bermakna juga famili, keluarga, kerabat. Adapun
kata Kitab atau Al-Kitab maka sudah masyhur di Indonesia
yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli
yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an.
Sedangkan
Ahli Kitab menurut terminologi adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para
umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di
antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu kitab karena telah
diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah ta’ala.
Dari pengertian secara etimologi maupun terminologi
dapat dipahami bahwa ahli kitab atau ahlu kitab adalah kaum
Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika
menafsirkan Surat Al-Maidah : 5, beliau mengatakan bahwa ahli kitab mencakup
orang-orang yang diberikan kepada mereka al Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan
Nasrani.
Sebab Yahudi dan Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab
karena Allah mengutus di tengah-tengah mereka nabi-nabi mereka yang membawa kitab
suci masing-masing walaupun mereka sendiri kemudian yang merubah isinya. Allah
menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa 'Alaihi As-Salamdan pengikut
beliau yang merubah isi Taurat setelahnya dikenal sebagai Yahudi. Kemudian
Allah menurunkan Kitab Injil kepada Nabi Isa 'Alaihi As-Salam dan
pengikut beliau yang merubah isi Injil disebut Nasrani. Mereka disebut
Ahli Kitab karena kitab-kitab suci mereka sebelum mereka rubah isinya adalah
turun dari Allah seperti Al-Qur'an.
Maka agama-agama selain
Yahudi dan Nasrani seperti Hindu, Buddha, Majusi/Zoroastrianisme, Kong Hu Chu,
Taoisme dan Shinto mereka tidak bisa disebut sebagai ahli kitab walaupun mereka
memiliki kitab suci masing-masing. Hal ini dikarenakan kitab suci mereka bukan
diturunkan oleh Allah akan tetapi mereka membuat sendiri yang disesuaikan
dengan adat, tata krama dan filosofi masyarakat pada masa itu. Inilah yang
menjadi pendapat Imam syafi’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS.
Al Baqarah : 109
Artinya :
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang
(timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka
ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Asbabun
Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Hayy bin Akhthab dan Abu
Jasir bin Akhtab termasuk kaum yahudi yang paling hasud terhadap orang Arab,
dengan alasan Allah telah mengistimewakan orang Arab dengan mengutus Rasul dari
kalangan mereka. Kedua orang bersaudara itu bersungguh-sungguh mencegah orang
lain masuk Islam. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Q.S. 2
al-Baqarah: 109) sehubungan dengan perbuatan kedua orang itu.[1]
Tafsir Mufradat
وَدَّ :
menginginkan, menyukai.
أَهْلِ الْكِتَابِ : kaum Yahudi dan
kaum Nasrani.
حَسَدًا : hasad atau dengki
adalah mengharap hilangnya nikmat dari orang lain yang mendapatkannya.
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ : mereka
mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan agamanya adalah agama yang
benar.
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا : janganlah kalian hukum mereka dan
jangan kalian caci mereka. Makna al-afwu adalah memaafkan dengan tidak
menghukum sedangkan makna ash-shafhu adalah berpaling dari orang yang bersalah
(dengan menganggap tak bersalah).
Tafsir
Ayat
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq, dari Ibnu
'Abbas, ia mengatakan: "Huyay bin Akhthab merupakan orang Yahudi yang
paling dengki terhadap masyarakat Arab, karena Allah SWT telah mengistimewakan
mereka dengan (mengutus) Rasul-Nya, Muhammad SAW. Selain itu, keduanya juga
paling gigih menghalangi manusia memeluk Islam. Berkaitan dengan kedua orang
tersebut, Allah menurunkan ayat:
وَدَّكَثِيرُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ
يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا (sebagian besar dari ahli kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman). Lebih lanjut Allah
berfirman: حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ
الْحَقُّ (karena dengki yang
timbul dari diri mereka sendiri telah nyata bagi mereka kebenaran). Dia
berfirman, bahwa setelah kebenaran yang terang-benderang di hadapan mereka dan
tidak ada sedikit pun yang tidak mengetahuinya, tetapi kedengkian menyeret
mereka kepada pengingkaran. Maka Allah SWT pun benar-benar mencela, menghina,
dan mencaci mereka, serta menyegerakan bagi Rosulullah SAW dan juga orang-orang
yang beriman yang telah membenarkan, mengimani, dan mengakui apa yang
diturunkan Allah SWT kepada mereka dan yang diturunkan kepada orang-orang
sebelum mereka, kemuliaan, pahala yang besar, dan pertolongan-Nya.
Mengenai firman-Nya: مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم , ar-Rabi' bin Anas
mengatakan: "(Hal itu berarti), berasal dari diri mereka sendiri."
Sedangkan mengenai firman-Nya: مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ (setelah nyata bagi
mereka kebenaran), Abul 'Aliyah mengatakan: "Yaitu setelah mereka melihat
dengan jelas bahwa Nabi Muhammad, Rosulullah SAW tertulis dalam kitab Taurat
dan Injil. Lalu mereka mengingkarinya karena dengki dan iri, karena Nabi
Muhammad SAW bukan dari kalangan mereka (Yahudi)." Hal
serupa juga dikatakan oleh Qatadah dan ar-Rabi' bin Anas.
Dan firman Allah SWT: فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
(maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya). 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia
mengatakan: "ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat berikut ini: فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ (maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di
mana saja kalian jumpai mereka). (QS. At-Taubah:5)
Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi
orang-orang musyrik. Hal yang sama dikemukakan oleh Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin
Anas, Qatadah, dan as-Suddi, bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat saif
(perintah perang). Hal itu ditunjukkan pula oleh firman-Nya: حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya).
Rosulullah SAW melaksanakan untuk memberikan maaf seperti yang diperintahkan
Allah, sehingga Allah mengizinkan kaum Muslimin memerangi mereka. Lalu
dengannya Allah membunuh para pemuka kaum Quraisy.[2]
Tafsir firman Allah: إِنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُ (sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu). Abu ja'far
berkata: kami telah buktikan pada pembahasan yang lalu bahwa makna قَدِير adalah yang maha kuasa,
maka arti ayat di sini adalah: bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang
dikehendaki dari apa yang kami sebutkan tentang ahli kitab, dan yang lainnya,
jika dia menghendaki akan membalas terhadap mereka karena pembangkangan mereka,
dan jika Dia menghendaki akan diberikan kepada mereka hidayah sebagaimana Allah
memberikan hidayah kepadamu dengan keimanan, dan tidak ada halangan terhadap
apa yang dikehendaki dan putuskan, karena milik-Nya lah segala urusan dan
ciptaan.[3]
- QS.
ALI IMRAN: 113
Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu
di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
Makna
Mufradat
ليسوا سواء من اهل الكتاب امة قائمة , pada ayat ini terjadi
pemberhentian secara sempurna pada lafadz “laisu sawaa”. Ibnu Mas’ud
menafsirkan maknanya dengan “Tidaklah sama orang-orang yang kafir dari ahlul
kitab dengan orang-orang mukmin dari
golongan umat Nabi Muhammad saw. Dan beberapa ulama’ lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah “ Tidak
sama antara orang-orang yang beriman dari ahlul kitab dengan orang-orang
yang kafir dari ahlul kitab.[1]
امة قائمة Ummah Qaimah
Ungkapan
ini terdiri dari dua kata, yaitu kata ummah dan kata qaaimah. ummah yaitu
suatu golongan atau kelompok manusia/orang. Sedang Qaaimah berarti “yang
lurus” (mustaqiimah) pada agama Allah swt, yaitu mereka melaksanakan
kewajiban agama yang menjadi amanah bagi mereka dengan ikhlas.[2]
Al-Akhfasyi
menafsirkan, makna “امة قائمة”, adalah: “Diantara
ahli kitab terdapat segolongan orang..” atau “Diantara ahli kitab terdapat
orang-orang yang berjalan di jalan yang benar”.
Dikatakan
bahwa dalam ayat ini ada lafadz yang tidak disebutkan, perkiraannya adalah: (واخرى غير امة) sehingga dimaknai “ Diantara Ahli Kitab terdapat golongan yang
berlaku lurus dan yang lainnya tidak berlaku lurus”. Namun kalimat ini enggan
disebutkan dikarenakan kalimat yang pertama sudah mewakili kalimat yang kedua. [3]
Sabab
al-Nuzul
Adapun
Sabab al-Nuzul dari ayat ini adalah: ketika ‘Abdullah bin Salam dan sahabatnya
beriman, kemudian para rabi (pendeta) Yahudi berkata, “Hanya orang bodoh
dari kalangan kami yang beriman dan mengikuti Muhammad. Seandainya mereka termasuk orang pandai
dari kalangan kami, tentu mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang dan
berpaling ke agama lain.” [4]
Dalam riwayat lain yakni dari Ibnu Ishaq [5] dikatakan, dari Ibnu Abi
Hatim, Tabrani dan Ibnu Mandah dalam kitabnya Ash-Shahabah dari Ibnu abbas,
katanya: Tatkala Abdullah bin Salam masuk islam bersama Tsa’labah bin sa’yah,
Usaid bin Sa’yah dan As’ad bin Abdun serta orang-orang Yahudi lainnya yang
masuk islsam bersama mereka. Mereka itu benar-benar beriman dan membenarkan apa
yang serta mengajak orang-orang masuk islam. Teapi pendeata Yahudi dan
warga-warga kafir tidak senang dan mengatakan: “ tidaklah beriman kepada
Muhammad dan bersedia mengikutinya kecuali orang-orang yang jelek diantara
kami, sekirany mereka orang-orang baik, tentulah mereka takkan meninggalkan
agama nenek moyang mereka dan berpindah ke agama lain.” [6]
Penafsiran Ayat
Orang Yahudi adalah suatu kaum
yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan buruk, antara lain mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah swt, membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, tetapi mereka
semua tidak sama. Ada diantar mereka yang beriman,[7] yakni kelompok Yahudi yang telah masuk islam, sekalipun kebanyakan adalah termasuk
orang-orang yang fasik. [8]
Abdullah
bin Salam, Tsa’labah bis Sa’id, Usaid bin ‘Ubaid dan kawan-kawannya adalah
orang-orang Yahudi dari Ahli Kitab yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak menganiyaya orang, memeluk agama
islam. Dan tidak melanggar perintah-perintah Allah swt. Mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan penuh tekun dan penuh
perhatianpada waktu malam yang diawali dengan terbenamnya matahari dan diakhiri
dengan terbitnya fajar, ketika orang tidur nyenyak, mereka juga sujud
mengadakan hubungan langsung dengan Allah swt.[9]
Kesimpulan
ayat: Diantara orang-orang Yahudi ada segolongan yang beriman, tekun membaca ayat-ayat
al-qur’an, rajin beribadah pada malam hari, melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar serta berlomba-lomba berbuat kebajikan.
Analisi
Ayat
1.
Keutamaan
berpegang teguh terhadap agama Allah swt.
2.
Keutamaan
membaca al-Qutr’an pada waktu malam.
3.
Keutamaan
beriman dan berdakwah kepada masyarakat dengan ajaran islam.
4.
Keutamaan
bagi seorang Ahli Kitab yang masuk islam dan menjadi baik dengan keislamannya.
Dalam Shahih Bukhari dijelaskan, Rosulullah
bersabda: “Ada tiga orang yang diberi pahala dua kali: (salah satunya adalah)
seorang Ahli Kitab dari golongan laki-laki, yang beriman kepada Nabinya, lalu
ia mendapati Nabi Muhammad saw maka ia berman pula kepadanya, mengikuti dan
membenarkannya: maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari Muslim) [10]
A. QS.
Al-Maidah : 51
Artinya
:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Asbabun
Nuzul
Menurut As-Sudi Ayat ini diturunkan tentang kisah perang Uhud
ketika kaum muslim dihinggapi perasaan takut, hingga sekelompok orang dari
mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin.
Menurut pendapat yang lain, ayat ini
diturunkan tentang kisah Ubadah bin Ash-Samit dan Abdullah bin Ubai bin Salul,
dimana Ubadah kemudian melepaskan diri dari tidak menjadikan orang-orang Yahudi
sebagai pemimpin, sedangkan Ibnu Ubai justru melakukan perbuatan tersebut. Ibnu
Ubai berkata “ Sesungguhnya aku takut
terjadi malapetaka.[1]
Riwayat dari Ibnu Saibah dan Ibnu Jarir dari Atiyah bin Sad
menceritakan bahwa Ubadah bin samid dari Bani Khoraj datang menghadap
Rasulullah Saw seraya berkata :Ya Rasulullah, saya ini orang yang mempunyai
ikatan persahabattan dengan orang-orang Yahudi yang merupakan kawan-kawan yang
akrab sekali, bukan dengan beberapa orang saja, tetapi dengan jumlah yang
banyak. Saya ingin mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya dengan dengan
meninggalkan hubungan saya yang akrab selama ini dengan orang-orang Yahudi
“.Mendengar ucapan Ubadah itu lalu Abdullah bin Ubay berkata :”Saya ini adalah
orang yang penakut, saya takut kalau-kalau nanti mendapat bahaya dari
orang-orang Yahudi bila diputuskan hubungan yang akrab dengan mereka “. Maka
Rasulullah saw berkata kepada Abdullah bin Ubay: perasaan yang terkandung dalam
hati mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan Ubadah biarlah untuk kau saja,
bukan untuk orang klain “. Lalu Abdullah bin Ubay menjawab :”kalau begitu, akan
saya terima”.[2]
Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman, agar
jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan
memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai
pemimpin. Namun diperbolehkan dalam pertemanan biasadalam pergaulan, apalagi
dalam urusan keduniawian, Allah tidak melarangnya asal hati-hati dalam
pergaulan, sebab bagi mereka sifat melanggar janji dan berbohong untuk mencari
kuntungan duniawi adalah biasa saja. Hal seperti ini sudah diperlihatkan oleh
Rasulullah saw ketika Nabi berada di Madinah.
Orang Yahudi dan Nasrani itu rasa
golongannya dan kesukuan mereka sangat tebal. Karena itu walau bagaimana
baiknya hubungan mereka dengan orang mukmin, sehingga suka mengadakan
perjanjian untuk kerja sama dengan mereka tapi kalau akan merugikan golongan
dan bangsannya, mereka tidak akan berbalik kebelakang dan mengkhianati janji
dan memusuhi orang mukmin.
Karena itu dalam akhir ayat ini
Allah menegaskan lagi, bahwa barang siapa diantara orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi
Nasrani sebagai teman akrabnya, maka orang itu telah termasuk golongan mereka,
tanpa dasar lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan akan membantu Islam,
tetapi akan menjadi musuh Islam. Kalau dia sudah menjadi musuh Islam, berarti
ia telah menganiyaya dirinya sendir. Ketahuilah bahwa llah tidak akan menunjuki
orang-orang yang aniyaya, kepada jalan yang benaruntuk mencapai bahagia dunia
dan akhirat.[3]
Menurut Muhammad AL-Ghozali ada 3 kriteria Yahudi dan
Nasrani yang tidak diperbolehkan kita jadikan pemimpin[4]:
1.
Mereka yang
membenci Syariat Islam
dengan kebencian yang tidak terkendali dan lebih mengutamakan
syariat-syariat jahiliyah (Hal itu sesuai Qs.Al maidah:49-50)
2.
Mereka yang
hatinya condong pada musuh, dan dikhawatirkan akan berkhianat ketika mendapat
kesempatan(hal ini sesuai Qs.Al maidah :52)
3.
Mereka yang
mencemoohkan syariat Islam dan memperolok-olok salat dan adzan (
hal ini sesuai Q.S Al maidah:57-58)
Namun al Ghazali memberikan kelonggaran dalam pergaulan terhadap
Yahudi dan Nasrani yakni diperbolehkan kerjasama dalam bidang perdagangan atas
dasar amanah dan kejujuran. Atas dasar sebuah realita kehidupan
sekarang
ini, sebuah
keluarga bisa saja terdiri dari Muslim dan non Muslim asal didirikan atas dasar
saling mengasihi dan menyayangi. Dan mungkin saja hubungan kemanusiaan yang
akrab antar sesama pemeluk agama yang berbeda didirikan jauh dari saling menzalimi,
penipuan dan kebencian.
Disamping itu juga Islam telah menempatkan kondisi-kondisi yang
membolehkan kaum mukmin untuk marah dan memutuskan hubungan tersebut. Ringkasnya,
perbedaan agama yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah.
Kontekstualisasi
Ayat
Agama Islam adalah agama Rahmatalil alamin yang menjunjung
perdamaian sehingga apabila ayat diatas di pakai secara saklek maka akan
mengakibatkan kerusuhan, khususnya Indonesia yang bermacam-macam dalam memeluk
agama. Ahli kitab itu sangatlah beda dengan kaum musyrikin yang sudah dikecam
sebagai kaum kafir. Sehingga dapat dipahami bahwa Ahli kitab itu jika
dikontekstualisasikan pada zaman sekarang adalah orang-orang non muslim yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam tatanan negara. Larangan memilih
pemimpin non muslim itu berlaku ketika non muslim terebut menzalimi umat Islam.
Tetapi dalam konteks kedamaian warga yang plural, seperti di Madinah pada zaman Nabi SAW, umat Islam dapat bekerjasama
dengan non Muslim. Maka untuk zaman moderen ini , demi membangun perdamaian dan persatuan bangsa,
non Muslim boleh saja dipilih jadi pendamping (wakil) pemimpin. Contohnya
di Indonesia yakni pasangan gubernur Jokowi-Ahok, Ahok berbeda agama dengan
jokowi. Basuki Cahya Purnama
alias Ahok berasal dari etnis
Tionghoa dan beragama Kristen. Disamping konteks
kedamaian, juga konteks kekuasaan pemimpin sekarang yang tidak lagi absolut, bukan Kaisar, Raja, dan bukan juga Khalifah.
Pemimpin Non Muslim di Negeri mayoritas Muslim, biasanya sebatas Wakil Presiden,
Menteri, Gubernur. Hal ini juga dilakukan oleh pemimpin Islam zaman dahulu
yakni pada masa Bani Abasiyah.
- QS. Al Maidah : 59
[1] Atsar ini dicantumkan
oleh Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan (6/178) secara rinci
[2] HAA Dahlan dan M Zaka Al
Farisi “Asbabun Nuzul Edisi Dua” (Bandung : CV Diponegoro, 2009) hal.197
[3] Ibnu Katsir “Terjemahan
Singkat Tafsir Ibnu Katsir” (Surabaya: Bina Ilmu, 1993) hal.460-461
[4]Syekh Muhammad Al-Ghazali
“Tafsir Al-Ghozali Tafsir Tematik Al-Qur’an”(Yogyakarta:Islamia, 2004)hal. 148
[1] Syeikh
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi dan Nashirul
Haq, ed. Ahmad Zubairin (Jakarta selatan: Pustaka Azam, cet I, 2008), hlm. 434
[4] Wahbah
Zuhaily, dkk., Buku Pintar al-Qur’an, terj. M. Tatam Wijaya, dkk.
(Jakarta Timur: Almahira, cet IV, 2009) hlm. 65
[6] Imam
Jalaluddin al-mahally dan Imam Jalaluddin al-Syuyuthi, Tafsir al-jalalain, terj.
Mahyudin syaf dan Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru, cet I, 1990) hlm, 309
[8] Syeikh Abu Bakar
Jabir Al-jazairi, terj. M. Azhari Hatim
dan Abdur Rahim Mukti, ed. M. Yusuf Harun (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press,
cet I, 2007), hlm. 171