Kamis, 02 Januari 2014

TAFSIR TENTANG AYAT AHLI KITAB
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Sosial

Dosen pengampu : Dr. H. Mahfudz Masduki, M.A

Disusun Oleh :

Ulva Khalidatul Jannah
 11530120
Rizky Dimas Pratama
11530127
Erwanda Safitri
12530004
Fatikhatur Rafi’un Nisak
12530006

PRODI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
PERIODE 2013-2014


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ahli Kitab secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu kata Ahli yang merupakan serapan dari bahasa Arab dan kitab. Kata ahl  adalah bentuk kata benda (isim) dari kata kerja (Fi’il) yaitu kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl yang bermakna juga famili, keluarga, kerabat. Adapun kata Kitab atau Al-Kitab maka sudah masyhur di Indonesia yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an. Sedangkan Ahli Kitab menurut terminologi adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah ta’ala.
Dari pengertian secara etimologi maupun terminologi dapat dipahami bahwa ahli kitab atau ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika menafsirkan Surat Al-Maidah : 5, beliau mengatakan bahwa ahli kitab mencakup orang-orang yang diberikan kepada mereka al Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sebab Yahudi dan Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab karena Allah mengutus di tengah-tengah mereka nabi-nabi mereka yang membawa kitab suci masing-masing walaupun mereka sendiri kemudian yang merubah isinya. Allah menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa 'Alaihi As-Salamdan pengikut beliau yang merubah isi Taurat setelahnya dikenal sebagai Yahudi. Kemudian Allah menurunkan Kitab Injil kepada Nabi Isa 'Alaihi As-Salam dan pengikut beliau yang merubah isi Injil disebut Nasrani. Mereka disebut Ahli Kitab karena kitab-kitab suci mereka sebelum mereka rubah isinya adalah turun dari Allah seperti Al-Qur'an.
Maka agama-agama selain Yahudi dan Nasrani seperti Hindu, Buddha, Majusi/Zoroastrianisme, Kong Hu Chu, Taoisme dan Shinto mereka tidak bisa disebut sebagai ahli kitab walaupun mereka memiliki kitab suci masing-masing. Hal ini dikarenakan kitab suci mereka bukan diturunkan oleh Allah akan tetapi mereka membuat sendiri yang disesuaikan dengan adat, tata krama dan filosofi masyarakat pada masa itu. Inilah yang menjadi pendapat Imam syafi’i.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    QS. Al Baqarah : 109
Artinya :
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Hayy bin Akhthab dan Abu Jasir bin Akhtab termasuk kaum yahudi yang paling hasud terhadap orang Arab, dengan alasan Allah telah mengistimewakan orang Arab dengan mengutus Rasul dari kalangan mereka. Kedua orang bersaudara itu bersungguh-sungguh mencegah orang lain masuk Islam. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Q.S. 2 al-Baqarah: 109) sehubungan dengan perbuatan kedua orang itu.[1]
Tafsir Mufradat
وَدَّ                                       : menginginkan, menyukai.
أَهْلِ الْكِتَابِ                             : kaum Yahudi dan kaum Nasrani.
حَسَدًا                                                : hasad atau dengki adalah mengharap hilangnya nikmat dari orang lain yang mendapatkannya.
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ                                      : mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan agamanya adalah agama yang benar.
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا                                  : janganlah kalian hukum mereka dan jangan kalian caci mereka. Makna al-afwu adalah memaafkan dengan tidak menghukum sedangkan makna ash-shafhu adalah berpaling dari orang yang bersalah (dengan menganggap tak bersalah).
Tafsir Ayat
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq, dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "Huyay bin Akhthab merupakan orang Yahudi yang paling dengki terhadap masyarakat Arab, karena Allah SWT telah mengistimewakan mereka dengan (mengutus) Rasul-Nya, Muhammad SAW. Selain itu, keduanya juga paling gigih menghalangi manusia memeluk Islam. Berkaitan dengan kedua orang tersebut, Allah menurunkan ayat:
 وَدَّكَثِيرُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا (sebagian besar dari ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman). Lebih lanjut Allah berfirman:  حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ (karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri telah nyata bagi mereka kebenaran). Dia berfirman, bahwa setelah kebenaran yang terang-benderang di hadapan mereka dan tidak ada sedikit pun yang tidak mengetahuinya, tetapi kedengkian menyeret mereka kepada pengingkaran. Maka Allah SWT pun benar-benar mencela, menghina, dan mencaci mereka, serta menyegerakan bagi Rosulullah SAW dan juga orang-orang yang beriman yang telah membenarkan, mengimani, dan mengakui apa yang diturunkan Allah SWT kepada mereka dan yang diturunkan kepada orang-orang sebelum mereka, kemuliaan, pahala yang besar, dan pertolongan-Nya.
Mengenai firman-Nya: مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم , ar-Rabi' bin Anas mengatakan: "(Hal itu berarti), berasal dari diri mereka sendiri."
Sedangkan mengenai firman-Nya: مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ  (setelah nyata bagi mereka kebenaran), Abul 'Aliyah mengatakan: "Yaitu setelah mereka melihat dengan jelas bahwa Nabi Muhammad, Rosulullah SAW tertulis dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu mereka mengingkarinya karena dengki dan iri, karena Nabi Muhammad SAW bukan dari kalangan mereka (Yahudi)." Hal serupa juga dikatakan oleh Qatadah dan ar-Rabi' bin Anas.
Dan firman Allah SWT:  فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ  (maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya). 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat berikut ini: فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ (maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka). (QS. At-Taubah:5)
Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi orang-orang musyrik. Hal yang sama dikemukakan oleh Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin Anas, Qatadah, dan as-Suddi, bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat saif (perintah perang). Hal itu ditunjukkan pula oleh firman-Nya: حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya). Rosulullah SAW melaksanakan untuk memberikan maaf seperti yang diperintahkan Allah, sehingga Allah mengizinkan kaum Muslimin memerangi mereka. Lalu dengannya Allah membunuh para pemuka kaum Quraisy.[2]
Tafsir firman Allah: إِنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُ (sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu). Abu ja'far berkata: kami telah buktikan pada pembahasan yang lalu bahwa makna  قَدِير adalah yang maha kuasa, maka arti ayat di sini adalah: bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang dikehendaki dari apa yang kami sebutkan tentang ahli kitab, dan yang lainnya, jika dia menghendaki akan membalas terhadap mereka karena pembangkangan mereka, dan jika Dia menghendaki akan diberikan kepada mereka hidayah sebagaimana Allah memberikan hidayah kepadamu dengan keimanan, dan tidak ada halangan terhadap apa yang dikehendaki dan putuskan, karena milik-Nya lah segala urusan dan ciptaan.[3]
  1. QS. ALI IMRAN: 113

Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
Makna Mufradat
ليسوا سواء من اهل الكتاب امة قائمة   , pada ayat ini terjadi pemberhentian secara sempurna pada lafadz “laisu sawaa”. Ibnu Mas’ud menafsirkan maknanya dengan “Tidaklah sama orang-orang yang kafir dari ahlul kitab  dengan orang-orang mukmin dari golongan umat Nabi Muhammad saw. Dan beberapa ulama’ lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah “ Tidak sama antara orang-orang yang beriman dari ahlul kitab dengan orang-orang yang kafir dari ahlul kitab.[1]
امة قائمة Ummah Qaimah                                                                
Ungkapan ini terdiri dari dua kata, yaitu kata ummah dan kata qaaimah. ummah yaitu suatu golongan atau kelompok manusia/orang. Sedang Qaaimah berarti “yang lurus” (mustaqiimah) pada agama Allah swt, yaitu mereka melaksanakan kewajiban agama yang menjadi amanah bagi mereka dengan ikhlas.[2]
Al-Akhfasyi menafsirkan, makna “امة قائمة”, adalah: “Diantara ahli kitab terdapat segolongan orang..” atau “Diantara ahli kitab terdapat orang-orang yang berjalan di jalan yang benar”.
Dikatakan bahwa dalam ayat ini ada lafadz yang tidak disebutkan, perkiraannya adalah: (واخرى غير امة) sehingga dimaknai “ Diantara Ahli Kitab terdapat golongan yang berlaku lurus dan yang lainnya tidak berlaku lurus”. Namun kalimat ini enggan disebutkan dikarenakan kalimat yang pertama sudah mewakili kalimat yang kedua. [3]
Sabab al-Nuzul
Adapun Sabab al-Nuzul dari ayat ini adalah: ketika ‘Abdullah bin Salam dan sahabatnya beriman, kemudian para rabi (pendeta) Yahudi berkata, “Hanya orang bodoh dari kalangan kami yang beriman dan mengikuti Muhammad. Seandainya mereka termasuk orang pandai dari kalangan kami, tentu mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang dan berpaling ke agama lain.” [4]
Dalam riwayat lain yakni dari Ibnu Ishaq [5] dikatakan, dari Ibnu Abi Hatim, Tabrani dan Ibnu Mandah dalam kitabnya Ash-Shahabah dari Ibnu abbas, katanya: Tatkala Abdullah bin Salam masuk islam bersama Tsa’labah bin sa’yah, Usaid bin Sa’yah dan As’ad bin Abdun serta orang-orang Yahudi lainnya yang masuk islsam bersama mereka. Mereka itu benar-benar beriman dan membenarkan apa yang serta mengajak orang-orang masuk islam. Teapi pendeata Yahudi dan warga-warga kafir tidak senang dan mengatakan: “ tidaklah beriman kepada Muhammad dan bersedia mengikutinya kecuali orang-orang yang jelek diantara kami, sekirany mereka orang-orang baik, tentulah mereka takkan meninggalkan agama nenek moyang mereka dan berpindah ke agama lain.” [6]
Penafsiran Ayat
Orang  Yahudi adalah suatu kaum yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan buruk, antara lain mereka kafir kepada ayat-ayat Allah swt, membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, tetapi mereka semua tidak sama. Ada diantar mereka yang beriman,[7] yakni kelompok Yahudi yang telah masuk islam, sekalipun kebanyakan adalah termasuk orang-orang yang fasik. [8]
Abdullah bin Salam, Tsa’labah bis Sa’id, Usaid bin ‘Ubaid dan kawan-kawannya adalah orang-orang Yahudi dari Ahli Kitab yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak menganiyaya orang, memeluk agama islam. Dan tidak melanggar perintah-perintah Allah swt. Mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan penuh tekun dan penuh perhatianpada waktu malam yang diawali dengan terbenamnya matahari dan diakhiri dengan terbitnya fajar, ketika orang tidur nyenyak, mereka juga sujud mengadakan hubungan langsung dengan Allah swt.[9]
Kesimpulan ayat: Diantara orang-orang Yahudi ada segolongan yang beriman, tekun membaca ayat-ayat al-qur’an, rajin beribadah pada malam hari, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta berlomba-lomba berbuat kebajikan.
Analisi Ayat
1.      Keutamaan berpegang teguh terhadap agama Allah swt.
2.      Keutamaan membaca al-Qutr’an pada waktu malam.
3.      Keutamaan beriman dan berdakwah kepada masyarakat dengan ajaran islam.
4.      Keutamaan bagi seorang Ahli Kitab yang masuk islam dan menjadi baik dengan keislamannya. Dalam Shahih Bukhari dijelaskan, Rosulullah bersabda: “Ada tiga orang yang diberi pahala dua kali: (salah satunya adalah) seorang Ahli Kitab dari golongan laki-laki, yang beriman kepada Nabinya, lalu ia mendapati Nabi Muhammad saw maka ia berman pula kepadanya, mengikuti dan membenarkannya: maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari Muslim) [10]
A.    QS. Al-Maidah : 51
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Asbabun Nuzul
Menurut As-Sudi Ayat ini diturunkan tentang kisah perang Uhud ketika kaum muslim dihinggapi perasaan takut, hingga sekelompok orang dari mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
            Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan tentang kisah Ubadah bin Ash-Samit dan Abdullah bin Ubai bin Salul, dimana Ubadah kemudian melepaskan diri dari tidak menjadikan orang-orang Yahudi sebagai pemimpin, sedangkan Ibnu Ubai justru melakukan perbuatan tersebut. Ibnu Ubai berkata  “ Sesungguhnya aku takut terjadi malapetaka.[1] 
            Riwayat dari Ibnu Saibah dan Ibnu Jarir dari Atiyah bin Sad menceritakan bahwa Ubadah bin samid dari Bani Khoraj datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkata :Ya Rasulullah, saya ini orang yang mempunyai ikatan persahabattan dengan orang-orang Yahudi yang merupakan kawan-kawan yang akrab sekali, bukan dengan beberapa orang saja, tetapi dengan jumlah yang banyak. Saya ingin mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya dengan dengan meninggalkan hubungan saya yang akrab selama ini dengan orang-orang Yahudi “.Mendengar ucapan Ubadah itu lalu Abdullah bin Ubay berkata :”Saya ini adalah orang yang penakut, saya takut kalau-kalau nanti mendapat bahaya dari orang-orang Yahudi bila diputuskan hubungan yang akrab dengan mereka “. Maka Rasulullah saw berkata kepada Abdullah bin Ubay: perasaan yang terkandung dalam hati mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan Ubadah biarlah untuk kau saja, bukan untuk orang klain “. Lalu Abdullah bin Ubay menjawab :”kalau begitu, akan saya terima”.[2]
Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman, agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Namun diperbolehkan dalam pertemanan biasadalam pergaulan, apalagi dalam urusan keduniawian, Allah tidak melarangnya asal hati-hati dalam pergaulan, sebab bagi mereka sifat melanggar janji dan berbohong untuk mencari kuntungan duniawi adalah biasa saja. Hal seperti ini sudah diperlihatkan oleh Rasulullah saw ketika Nabi berada di Madinah.
            Orang Yahudi dan Nasrani itu rasa golongannya dan kesukuan mereka sangat tebal. Karena itu walau bagaimana baiknya hubungan mereka dengan orang mukmin, sehingga suka mengadakan perjanjian untuk kerja sama dengan mereka tapi kalau akan merugikan golongan dan bangsannya, mereka tidak akan berbalik kebelakang dan mengkhianati janji dan memusuhi orang mukmin.
            Karena itu dalam akhir ayat ini Allah menegaskan lagi, bahwa barang siapa diantara  orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi Nasrani sebagai teman akrabnya, maka orang itu telah termasuk golongan mereka, tanpa dasar lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan akan membantu Islam, tetapi akan menjadi musuh Islam. Kalau dia sudah menjadi musuh Islam, berarti ia telah menganiyaya dirinya sendir. Ketahuilah bahwa llah tidak akan menunjuki orang-orang yang aniyaya, kepada jalan yang benaruntuk mencapai bahagia dunia dan akhirat.[3]
Menurut  Muhammad AL-Ghozali ada 3 kriteria Yahudi dan Nasrani yang tidak diperbolehkan kita jadikan pemimpin[4]:
1.      Mereka yang membenci Syariat Islam dengan kebencian yang tidak terkendali dan lebih mengutamakan syariat-syariat jahiliyah (Hal itu sesuai Qs.Al maidah:49-50)
2.      Mereka yang hatinya condong pada musuh, dan dikhawatirkan akan berkhianat ketika mendapat kesempatan(hal ini sesuai Qs.Al maidah :52)
3.      Mereka yang mencemoohkan syariat Islam dan memperolok-olok salat dan adzan ( hal ini sesuai  Q.S Al maidah:57-58)
Namun al Ghazali memberikan kelonggaran dalam pergaulan terhadap Yahudi dan Nasrani yakni diperbolehkan kerjasama dalam bidang perdagangan atas dasar amanah dan kejujuran. Atas dasar sebuah realita kehidupan sekarang ini, sebuah keluarga bisa saja terdiri dari Muslim dan non Muslim asal didirikan atas dasar saling mengasihi dan menyayangi. Dan mungkin saja hubungan kemanusiaan yang akrab antar sesama pemeluk agama yang berbeda didirikan jauh dari saling menzalimi, penipuan dan kebencian. Disamping itu juga Islam telah menempatkan kondisi-kondisi yang membolehkan kaum mukmin untuk marah dan memutuskan hubungan tersebut. Ringkasnya, perbedaan agama yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah.

Kontekstualisasi Ayat
Agama Islam adalah agama Rahmatalil alamin yang menjunjung perdamaian sehingga apabila ayat diatas di pakai secara saklek maka akan mengakibatkan kerusuhan, khususnya Indonesia yang bermacam-macam dalam memeluk agama. Ahli kitab itu sangatlah beda dengan kaum musyrikin yang sudah dikecam sebagai kaum kafir. Sehingga dapat dipahami bahwa Ahli kitab itu jika dikontekstualisasikan pada zaman sekarang adalah orang-orang non muslim yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam tatanan negara. Larangan memilih pemimpin non muslim itu berlaku ketika non muslim terebut menzalimi umat Islam. Tetapi dalam konteks kedamaian warga yang plural, seperti di Madinah  pada zaman Nabi SAW, umat Islam dapat bekerjasama dengan non Muslim.   Maka untuk zaman moderen ini , demi membangun perdamaian dan persatuan bangsa, non Muslim boleh saja dipilih jadi pendamping (wakil) pemimpin.  Contohnya di Indonesia yakni pasangan gubernur Jokowi-Ahok, Ahok berbeda agama dengan jokowi. Basuki Cahya Purnama alias Ahok berasal dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Disamping konteks kedamaian, juga konteks kekuasaan pemimpin sekarang yang tidak lagi absolut,  bukan Kaisar, Raja, dan bukan juga Khalifah.   Pemimpin Non Muslim di Negeri mayoritas Muslim, biasanya sebatas Wakil Presiden, Menteri, Gubernur. Hal ini juga dilakukan oleh pemimpin Islam zaman dahulu yakni pada masa Bani Abasiyah.

  1. QS. Al Maidah : 59



[1] Atsar ini dicantumkan oleh Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan (6/178) secara rinci
[2] HAA Dahlan dan M Zaka Al Farisi “Asbabun Nuzul Edisi Dua” (Bandung : CV Diponegoro, 2009) hal.197
[3] Ibnu Katsir “Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir” (Surabaya: Bina Ilmu, 1993) hal.460-461
[4]Syekh Muhammad Al-Ghazali “Tafsir Al-Ghozali Tafsir Tematik Al-Qur’an”(Yogyakarta:Islamia, 2004)hal. 148



[1] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Dudi Rosyadi dan Nashirul Haq, ed. Ahmad Zubairin (Jakarta selatan: Pustaka Azam, cet I, 2008), hlm. 434
[2] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya  (Jakarta:Departemen agama RI, 2009) hlm. 23
[3] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, hlm. 436
[4] Wahbah Zuhaily, dkk., Buku Pintar al-Qur’an, terj. M. Tatam Wijaya, dkk. (Jakarta Timur: Almahira, cet IV, 2009) hlm. 65
[5] Syeikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, hlm. 435
[6] Imam Jalaluddin al-mahally dan Imam Jalaluddin al-Syuyuthi, Tafsir al-jalalain, terj. Mahyudin syaf dan Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru, cet I, 1990) hlm, 309
[7] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, hlm. 24
[8] Syeikh Abu Bakar Jabir  Al-jazairi, terj. M. Azhari Hatim dan Abdur Rahim Mukti, ed. M. Yusuf Harun (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, cet I, 2007), hlm. 171
[9] Departemen agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya  (Jakarta:Departemen agama RI, 2009) hlm, 24
[10] Syeikh Abu Bakar Jabir  Al-jazairi, hlm. 173


[1] H.A.A. Dahlan dan Zaka Alfarisi, Asbabun Nuzul (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000).
[2] Abdullah bin Muhammad , Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi'I, 2009)
[3] Ibnu Jarir ath-Thobari, Tafsir ath-Thobari, hlm 391.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar