TAFSIR SAFWAH
AT-TAFASIR DALAM GUGATAN
Makalah
Diajukkan
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Studi
Kitab Tafsir Modern
Dosen
Pengampu: Drs. Muhammad Mansur, M. Ag.
Oleh:
Atropal
Asparina: 11530128
Rizky Dimas Pratama : 11530127
Abdullah
Zahir : 11530097
Shihah Tsaniyah:
11530129
Ulvah
Kholidatul Jannah:
11530120
JURUSAN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tafsir al-Qur’an secara
sederhana dapat diartika sebagai buah pemikiran dari orang-orang yang mencoba
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sejak al-Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu,
sejak saat itu pula usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sudah dilakukan. Eksistensi
Nabi Muhammad saw.—selain sebagai suri tauladan juga menjadi rujukan
ummat—tampil sebagai penafsir utama yang selalu diyakini dan dihormati
kebenarannya oleh ummat muslim pada masa itu. Tetapi setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dunia maka keragaman
pendapat dalam menafsirkan al-Qur’an tidak bisa terbendung lagi.
Perkembangan
Tafsir terus semakin meningkat, sehingga mengalami beberapa pergeseran titik
tekan. Mulai dari riwayat sebagai dasar yang unggul, yang kemudian melahirkan
tafsir bi arriwayah, sampai kepada akal sebagai basis penafsiran yang
kemudian melahirkan tafsir bi arra’yi. Selain itu di sela pergeseran
titik tekan tersebut terdapat istilah ta’wil yang juga ikut mewarnai khazanah
keilmuan Islam terkait al-Qur’an dan hadis.
Setelah
memasuki era modern, maka tafsir pun kemudian mengalami beberapa perubahan,
diantaranya adalah kebutuhan untuk menjawab permasalahan manusia. Dengan adanya
kebutuhan tersebut maka tafsir kemudian terkesan lebih relatif. Diantara kitab tafsir yang cukup representatif untuk
menunjuk kepada permasalahan tersebut adalah tafsir Safwah
At-Tafasir. Tafsir karya Muhammad Ali As-Shabuni tersebut, di kalangan masyarakat—terutama
dunia akademis—cukup
hangat diperbincangkan, terutama mengenai metode
yang digunakan dalam menyusun tafsir tersebut, sehingga terkandung di dalamnya
pemaparan yang ilmiah, rinci, jelas, dan mudah dipahami. Maka dengan latar belakang tersebut penulis merasa
perlu untuk membahas tafsir Safwah At-Tafasir guna untuk lebih memahami bagaimana kondisi tafsir
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi dan latar belakang ditulisnya tafsit Safwat
At-Tafasir?
2.
Bagaimana Deskripsi,
sistematika serta metode yang digunakan Safwat At-Tafasir?
3.
Bagaimana Safwah
At-Tafasir digugat oleh para ulama dan pemikir?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Penulis Kitab Safwah At-Tafasir
Syekh
Muhammad Ali As Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan
ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat
wara-nya. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni.
Beliau lahir di kota Helb, Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung
dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di
Mesir, dan merampungkan program magisternya di universitas Al-Azhar dengan
mengambil tesis khusus tentang Perundang-Undangan Dalam Islam pada tahun 1954
M.
Beliau
juga tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di
fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah Universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau
juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab .
Di samping sibuk mengajar, Ash-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim
Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset
Kajian Ilmiah mengenai Alquran dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini
selama beberapa tahun, setelah itu ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk menulis
dan melakukan penelitian.
Ali
As Shabuni, telah menyelesaikankan tafsir ini (Shafwah al-Tafasir), secara
terus menerus dikerjakannya non-stop siang malam selama lebih kurang
menghabiskan waktu kira-kira lima tahun. Dia tidak menulis sesuatu tentang
tafsir sehingga dia membaca dulu apa-apa yang telah ditulis oleh para mufasir,
terutama dalam masalah pokok-pokok kitab tafsir, sambil memilih mana yang lebih
relevan (yang lebih cocok dan lebih unggul).[1]
Shafwah
al-Tafsir merupakan tafsir ringkas, meliputi semua ayat A-Qur’an sebagaimana
yang terdapat dalam judul kitab : Jami’ baina al-Ma’tsur wa al-Ma’qul. Shafwah
al-Tafasir ini berdasarkan kepada kitab-kitab tafsir terbesar seperti
al-Thabari, al-Kasysyaf, al-Alusi, Ibn Katsir, Bahr al-Muhith dan lain-lain
dengan uslub yang mudah, hadits yang tersusun ditunjang dengan aspek bayan dan
kebahasaan.[2]
As
Shabuni mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya, tentang penjelasan tujuan
ditulisanya kitab ini, Diantara kewajiban ulama saat ini adalah mengerahkan
kesungguhannya untuk mempermudah pemahaman manusia pada Al-Qur’an dengan uslub
yang jelas, bayan yang terang, tidak terdapat banyak kalimat sisipan yang tidak
perlu, tidak terlalu panjang, tidak mengikat, tidak dibuat-buat, dan
menjelaskan apa yang berbeda dalam Al-Qur’an yaitu unsur keindahan ‘Ijaz dan
Bayan bersesuaian dengan esensi pembicaraan, memenuhi kebutuhan pemuda terpelajar,
yang haus untuk menambah ilmu pengetahuan Al-Qur’an al-Karim’.
Kata
As Shabuni, ‘saya belum menemukan tafsir al-Kitabullah ‘Azza Wajalla yang
memenuhi kebutuhan dan permasalahannya sebagaimana disebutkan diatas dan
menarik perhatian (orang) mendalaminya, maka saya terdorong untuk melakukan
pekerjaan penyusunan ini. Seraya memohon pertolongan Allah al-Karim saya
berinama kitab ini : “Shafwah al-Tafasir” karena merupakan kumpulan
materi-materi pokok yang ada dalam tafsisr-tafsir besar yang terpisah, disertai
ikhtisar, tertib, penjelasan dan bayan’.[3]
Adapun
karya yang lainnya adalah : Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir
al-Thabari, Jammi al-Bayan, al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhau
al-Kitab dan Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-bayan.
B.
Latar Belakang
Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir
Sebuah
karya, apapun jenisnya termasuk kitab tafsir dalam masa pembuatannya, pasti
tidak dapat dimungkiri dari aspek kultur-sosial yang mengelilinginya. Pada
tahun 1930 lahir sebuah karya tafsir dari tangan seorang ilmuwan kelahiran
Syiria yang menambah deretan khazanah ke-ilmu-an ke-Islam-an, yaitu “Shafwah Al
Tafasir” yang disusun selama kurang lebih lima tahun sekaligus memberi kesan
tersendiri bagi para sebagian kalangan ulama dan para pemerhati lainnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya karya yang dilahirkan As Shabuni ini
juga memiliki latar yang memberikan warna terhadap alur fikirannya dalam
menafsirkan Al-Quran. Dari data yang didapat mengenai latar belakang
penyususnan kitab ini beliau menyebutkan.
1.
Menjunjung kalimatullah
untuk memberi pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam memahami agama.
2. Keberadaban
Al-Quran itu sendiri yang kekal dengan penuh keajaiban-keajaiban, penuh dengan
mutiara-mutiara kehidupan, senantiasa memicu akal untuk mengkajinya.
3. Kenyataan
semua ilmu akan hilang dimakan jaman, kecuali ilmu Al-Quran
4. Kewajiban
ulama tetap mesti menjadi jembatan bagi pemahaman umat terhadap Al-Quran dengan
memberikan kemudahan dalam mengkajinya.
Dari
pemaparan beliau diatas nampaknya kita bisa melihat bagaimana sosio masyarakat
yang ada ketika beliau menciptakan kitab tafsir ini. Jelas siapa yang menjadi
sasaran serta bagaimana respon tafsirnya terhadap laju kultur dan kebutuhan
lingkungan masyarakat dimana beliau berada.
C.
Deksripsi Kitab Safwat
At-Tafasir
Kitab Tafsir Safwat[4]
At-Tafasir merupakan karya paling monumental dari Muhammad Ali Ash-Shabani.
Pada awalnya diberi nama demikian karena kitab ini dihimpun dari berbagai kitab tafsir besar secara rinci sekaligus
ringkas, juga secara sistematis dan kronologis, sehingga pemaparannya menjadi
jelas dan lugas. Pemberian nama itu juga dimaksudkan supaya kitab tersebut
dapat menjadi pendorong dan motivasi bagi umat Islam untuk mengantarkan mereka
ke arah jalan yang lurus (Sirat Al-Mustaqin). Selain hal itu, dalam
tafsir ini juga tersirat bahwa pengarang tafsir hendak menunjukan bahwa Safwat
At-Tafasir ini telah mewakili tradisi pemikiran tafsir Al-Qur’an di
seantero dunia.
Dalam kitab
tafsir ini Ali Ash-Shabuni berusaha memadukan
antara penafsiran dari golongan Ahli Al-Fiqh (yang sifatnya
rasional-kontekstual) dengan Ahli Al-Hadis (yang sifatnya tekstual).
Selain itu dicantumkan juga beberapa pandangan ulama kenamaan, dengan
kitab-kitab tafsir kenamaan lainya. Adapun pandangan-pandangan yang diambil
adalah diantaranya dari kitab tafsir Ath-Thabari, Al-Kasysyaf, Al-Qurtubi,
Al-Alusi, Ibnu Katsir, Al-Baidhawi, Dan Bahr Al-Muhit, beserta
kitab-kitab lainya seperti misalnya Fi Zilalil Qur’an.[5]
Sebelum memulai
penafsiran, kitab ini terlebih dahulu memulainya dengan dua penggalan ayat
Al-Qur’an. Yaitu surah Ali-Imran ayat 187[6].
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ
الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah
kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah
kamu menyembunyikannya.
Dan surah An-Nahl ayat 44
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
(mereka Kami Utus) dengan membawa
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami Turunkan adz-dzikr (al-Quran)
kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
Kitab ini—Safwat
At-Tafasir—ditulis selama lima tahun dan tidak pernah berhenti antara siang
dan malam. Mesipun demikian Ali As-Shabuni tidak terlalu berani untuk segera
menerbitkannya kepada masayarakkat luas, karena adanya berbagai pertibangan dan
kehati-hatian. Baru pada tahun 1996 Ali Ash-Shabani kemudian mengizinkan untuk
menerbitkan karya monumentalnya tersebut. Sehingga jika dijumlahkan proses
keseluruhan pembuatan kitab ini—sampai diterbitkan untuk khalayat umum—adalah
sekitar 30 tahun. Sebelumnya, perlu juga diketahui bahwa dari proses yang amat
panjang tersebut, pada mulanya juga diadakan berbagai diskusi ilmiah secara intens,
formal dan terstruktur. Hal ini dilakukan guna mendapatkan atau menghasilkan
sebuah maha karya yang berkualitas tinggi, tetapi mudah dipahami dan dicerna
oleh masyarakat umum.[7]
Kitab ini
dimulai dengan sebuah muqaddimah (pendahuluan) yang di dalamnya dimuat
latar belakang penulisan kitab safwat ini. Adapun isi pendahuluan
tersebut dapat diringkas menjadi beberapa poin seperti tergambar di bawah ini.
1.
Diawali dengan kalimat
pembuka, berupa pujian dan doa kepada Nabi Muhammad saw.
2.
Penjelasan mengenai
keagungan Al-Qur’an
3.
Dijelaskan pula
upaya-upaya ulama terdahulu yang berusaha mengungkap kandungan dan isi
Al-Qur’an dan dengan ilmu tafsir berhasil menjelajahi dan mendalami khazanah
ilmu Al-Qur’an
4.
Adanya penekanan
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. yang mengandung ilmu pengetahuan
dan berbagai hikmah
5.
Dipaparkan pula upaya
umat Islam untuk mnegungkap kandungan Al-Qur’an lebih dalam dari kitab-kitab
tafsir besar terdahulu yang kemudian dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan.
Sehingga kentara sekali bagaimana kegadrungan Ali Ash-Shabuni untuk membuat
tafsir yang mudah, simpel, jelas, dan dapat dengan ringan dikonsumsi oleh
masayarakat.
6.
Adanya masalah pribadi
di tenggarai Ali Ash-Shabuni, yang mana dia belum menemukan kitab tafsir yang
yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan umat muslim, baik untuk pedoman hukum
maupun sebagai sarana meningkatkan keimanan.
7.
Alasan penamaan kitab
sehingga menjadi Safwat At-Tafasir
8.
Metode dan sistematika
penafsiran yang akan dipakai dalam kitab, sebagaimana akan dijelaskan pada
bagian selanjutnya.
9.
Permohonan ampun kepada
Allah dan sekaligus pengharapan supaya kitabnya ini menjadi kebaikan hingga
hari kemudian[8].
D.
Sistematika Dan Metode
Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir
Dalam
memaparkan tafsirnya dalam kitab ini Ali Ash-Shabuni memakai sistematika yang
dipakainya dalam kitab tafsir sebelumnya, yaitu Rawa’i’ Al-Bayan dengan
sepuluh langkahnya[9].
Tetapi nampaknya dalam kitab Safwat At-Tafasir ini Ash-Shabuni cendrung
lebih mempersingkatnya sehingga hanya menjadi tujuh langkah. Adapun
langkah-langkah tersebut ialah.
1.
Diawali dengan
penjelasan secara global akan kandungan dan juga dijelaskan tujuan paling
mendasar (maqasid Al-Asasiah), serta pokok-pokok yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang dibahas.
2.
Mencari korelasi antara
ayat-ayat yang mendahului atau lebih dahulu dengan ayat-ayat yang dapat
dikatakan senada.
3.
Menjelaskan ayat dari
segi tata bahasa arab.
4.
Menyebutkan sabab
nuzul ayat-ayat yang memang memiliki latar belakang penurunan ayat.
5.
Menyampaikan penafsiran
secara substansial (isi kandungan) potongan ayat serta keseluruhan ayat secara
utuh.
6.
Dipaparkan aspek
sastranya (balaghiyah)
7.
Memunculkan
faidah-faidah dan makna inti dari ayat yang dibahas[10].
Adapun secara teknis
dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh langkkah itu,
sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dibahas dan
diakhirnya terkadang ditambah dengan adanya penekanan mengenai hukum yang
dibahas[11].
E. Safwat
At-Tafasir: Antara Gugatan dan Pembuktian
Hadirnya
sebuah pemikiran tidakakan lepas dari pujian sekaligus kritik yang meresponnya.
Terlebih buah pikiran itu datang dari ranah atau atmosfir agama. Sehingga
sangatlah wajar jika kemudian buah pikiran yang muncul dan berkembang dari
hasil pemahamannya terhadap simbol-simbol dan teks-teks keagamaan dapat
dipastikan selalu memunculkan sebuah polemik, terlepas apakah itu luas atau
tidak. Dalam hal ini tafsir Safwah At-Tafasir ada salah satu tafsir yang
juga mengalami fenomena di atas. Tetapi dalam bagian ini yang akan diutarakan
hanya berupa kritikan negatif dari ulama dan pemikir lain, untuk kemudian
dianalisis dengan menggunakan tafsir-tafsir yang lainya.
1.
Eksistensi Takwil
Bathil dalam Shofwah at Tafasir
Menurut
Syeikh Sholih bin Fauzan yang merupakan salah seorang ulama asal Saudi, secara tegas dan gamblang
menyatakan bahwa dalam kitab Safwat At-Tafasir terdapat berbagai takwil
yang bathil[12].
Ungkapan bombastis itu jelas selain tidak dapat diabaikan begitu saja juga
tidak dapat diterima bulat-bulat tanpa kritik dan peninjauan lebih lanjut. Mengingat
kitab Safwah Al-Tafasir merupakan kitab yang selain terkenal juga banyak
dan sering digunakan oleh masyarakat—termasuk di dalamnya para akademisi.
Kejelasan, kepadatan, bahasa yang mudah difahami—seperti yang sudah dijelaskan
di atas—menjadi salah satu alasan familiarnya kitab tersebut di kalangan masyarakat,
bahkan yang awam sekalipun. Maka dari itu perlu ditelisik lebih jauh sehingga
kitab Safwah Al-Tafasir dapat ditempatkan dalam posisinya yang
proporsional.
Sepanjang
penelusuran penulis, terdapat beberapa penafsiran yang disinyalir menjadi
alasan dan data sanggahan mengenai adanya takwil bathil dalam Safwah
Al-Tafasir. Salah satu penafsiran
itu ialah ketika Ali As Shabuni memaparkan penafsirannya terhadap surah
Al-Baqarah ayat 112.
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ
وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ .
Tidak!
Barangsiapa menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia
mendapat pahala di sisi Tuhan-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 112)
Kritik
datang karena menurut Sholih bin Fauzan Ali As Shabuni ketika menafsirkan kata wajhu
telah mengutip penafsiran dari Fakhruddin Al-Razi. Adapun penafsirannya yaitu
dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajah pada ayat itu adalah nafs.
Sehingga penafsirannya dari kalimat wajah Allah menjadi memasrahkan
diri untuk selalu taat kepadanya [13].
Penafsiran As Shabuni yang demikian itu didasarkan pada ayat yang berbunyi.
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ
إِلَهاً آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ
الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Janganlah
kamu menyembah tuhan selain Allah, tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia,
segala sesuatu pasti binasa kecuali dzat-Nya bagi-Nyalah segala penentuan dan
hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Al-Qasash[28] : 88)
Sedangkan
menafsirkan wajah dengan nafs berdasar pada pengertian wajh
pada ayat di atas dengan dzat-Nya[14], menurut Sholih bin Fauzan mempunyai kecendrungan
bahwa kata wajh untuk Allah dan untuk manusia sama, sehingga menurutnya
pentakwilan As Shabuni ini adalah takwil yang bathil[15].
Untuk lebih mendapat penjelasan
logis mengenai takwil yang dilakukan Al-Razi—yang kemudian dikutip oleh As
Shabuni—sebagai takwil bathil, maka hemat penulis ada baiknya jika merujuk pula
para mufasir lainya dalam menafsirkan kata wajh. M. Quraish Shihab,
dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajh pada surah
Al-Baqarah ayat 112 adalah.
Bagian yang termulia dari jasmani
manusia. Pada wajah tedapat mata, hidung, dan mulut, atau lidah. Kegembiraan,
kesedihan, amarah, dan sedih, bahkan semua emosi manusia dapat tampak melalui
wajah. Wajah adalah gambaran identitas manusia, sekaligus menjadi lambang
totalitasnya. Wajah adalah bagian termulia dari tubuh manusia yang tampak.
Kalau yang termulia telah tunduk, maka yang lain pasti dengan serta merta turut
tunduk pula. Siapa yang menyerahkan wajahnya secara tulus kepada Allah, dalam
arti ikhlas beramal dan amal itu adalah amal yang baik, maka baginya ganjaran
di sisi Tuhannya[16].
Jelas,
dari pemaparan Quraish Shihab berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh As
Shabuni. Jika kemudian As Shabuni mengatakan bahwa yang dimaksud wajh adalah
nafs (jiwa), maka Quraish Shihab memilih tetap mendudukan kata wajh
pada makna hakiki, yaitu wajah yang ada mata, hidung, dan lain sebagainya.
Meskipun kemudian pada akhir penjelasan baik As Shabuni atau Quraish Shihab
bermuara pada kesimpulan yang hampir sama, yaitu patuh, tunduk, dan pasarah
sepenuhnya kepada Allah.
Ibu
Katsir[17]
dan Hasby As-Siddiqi[18]
dalam menafsirkan kata wajah juga sama bermuara pada patuh, tulus, dan ikhlas
kepada Allah. Meskipun dalam kedua kitab tafsir itu tidak disebutkan dengan
jelas dan rinci alasan mengartikan makna wajh. Sehingga sampai di bagian
ini dapat dikatakan bahwa baik As-Shabuni, Quriash Shihab, Ibnu Katsir, dan
Hasby As-Siddiqi dalam menafsirkan kata wajh bermuara pada hal yang bisa
dikatakan senada, yaitu patuh, tunduk, tulus, dan ikhlas kepada Allah. Semua
itu terlepas dari metode dan pendekatan yang digunakan masing-masing mufasir
dalam menafsirkan kalimat tersebut. Adapun khusus untuk penafsiran Ali
As-Shabuni dan sanggahan dari Shalih bin Fauzan, dengan menyebutnya sebagai
takwil bathil, maka sebenarnya hal itu masih bisa dikompromikan.
Mengingat setelah dibandingkan dengan penafsiran yang lain, ternyata bermuara
pada satu irama yang bermiripan.
2.
Percampur-adukan
ideologi dalam Safwah At-Tafasir
Kritikan keras
terhadap Safwah At-Tafasir tidak hanya terhenti melalui Sholih bin
Fauzan, tetapi ada juga seorang ulama yang sampai menulis satu buku yang berisi
kritikan terhadap As-Shabuni. Adalah Bakr Abu Zayd melalui bukunya yang
berjudul Ar-Rudud menghantam Ali As-Shabuni melalui sesuatu yang lebih
mendalam, yaitu permasalahan ideologi[19]. Berbeda
dengan kritik yang pertama, pada bagian ini meski permasalahan lebih
kompleks—karena menyangkut ideologi—tetapi dengan keterbatasan data, maka
analisis dan contoh yang akan dipaparkan akan jauh lebih singkat.
Bakr Abu Zayd
menuturkan bahwa di dalam Safwah At-Tafasir terjadi benturan ideologi
yang sangat hebat. Hal ini—lanjut Bakr Abu Zayd—didasarkan pada sikap Ali
As-Shabuni yang mengumpulkan berbagai ideologi ulama-ulama besar dalam kitab
tafsirnya. Diawali dengan ideologi salafi yang diwakili oleh Ibnu Katsir dan
Al-Qurthubi, dari Mu’tazilah dengan Al-Kasyaf karya Zamakhsyari dan Asy’Ari yang diwakili
oleh Ar-Razi[20].
Selanjutnya pada bagian selanjutnya akan dipaparkan bagaimana perbenturan itu
terjadi.
Tingkat rasionalitas
penafsiran kentara sekali terlihat manakala dua haluan ideologi—antara Salafi
dan Mu’tazilah—sama-sama menafsirkan suatu surat atau bahkan ayat yang sama.
Dalam hal ini penulis mengangkat surah Al-Fatihah ayat 5.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
Hanya kepada-Mu
kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah
[1]: 5)
Dalam
menafsirkan kata na’budu, Zamakhsyari mengatakan—sebagaimana dikutip
oleh As-Shabuni—bahwa ibadah lebih merupakan tujuan utama dari sebuah ketaatan,
Oleh karena itu ibadah tidak ditujukan kecuali hanya kepada Allah. Karena
selain hanya Allah yang pantas dan berhak diibadahi juga kerna hanya Allah yang
paling berhak untuk disembah[21].
Dari penafsiran itu dapat diketahui bahwa Zamakhsyari dalam menafsirkan kata na’budu
tidak berorientasi kepada penjelasan kebahasaan, tetapi lebih kepada maknanya
yang luas dan mendalam. Kesan itu akan terasa berbeda jika kemudian
disandingkan penafsiran yang berhaluan lain terhadap objek yang sama. Abu
Ja’far Ath-Thabari dalam tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an
ketika menafsirkan kalimat na’budu menyebutkan bahwa kalimat tersebut
bermakna tunduk, patuh, merendahkan diri, dan mengakui bahwa tiada tuhan yang
berhak disembah kecuali Engkau[22].
Contoh yang
sekilas dipaparkan di atas, sedikit-banyak telah menjelaskan bagaimana
perbedaan kecendrungan itu terjadi. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah,
akan tetapi apa yang dikhawatirkan dan digelisahkan oleh Bakr Abu Zayd, adalah mengenai
nasib dari kejelasan ideologi yang diambil dan dijadikan acuan oleh Ali
As-Shabuni sendiri. Mengingat baik penafsiran Zamakhsyari atau Ath-Thabari,
sama-sama terdapat dan mewarnai penafsiran dalam kitab Safwah At-Tafasir tersebut.
Meskipun sebenarnya tidak otomatis bahwa ketika mufasir banyak mengutip
berbagai penafsiran dari beberapa ideologi, mengindikasikan bahwa mufasir itu
tidak jelas ideologinya. Karena jika kembali mengingat pembahasan pada bagian
yang telah lalu, dapat ditemukan dengan jelas sekali bahwa Ali As-Shabuni
menginginkan bahwa penafsirannya dapat dipakai dan berlaku bagi semua kalangan.
F.
Kritik Penulis Terhadap
Tafsir Safwat At-Tafasir
Dari
tafsiranya yang—memang—diharapkan supaya bisa dikonsumsi oleh masayarakat luas,
Safwat At-Tafasir jika dilhat dari segi kekurangannya adalah tidak
menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, tetapi hanya ayat-ayat yang
mengandung hukum. Hal ini jelas, sedikitnya akan mempengaruhi para penikmat
kitab tafsir ini, dimana para pembaca dalam mencoba memahami Al-Qur’an yang
terbayang bahwa Al-Qur’an semua ayatnya adalah mengenai hukum. Selain itu dalam
tafsir tersebut tidak diberitahukkan secara rinci mengenai jens kitab yang akan
digunakan. Hal ini penting, mengingat tekad kuat dari Ash-Shabuni yang hendak
membuat tafsir yang representatif dari semua kitab yang ada. Dengan adanya
penjelasan mengenai jenis atau aliran kitab tafsir yang dimuat, maka disini
pembaca setidaknya dapat memahami posisi mana yang lebih cocok untuk suatu
keadaan tertentu.
Adapun
dari sisi kelebihannya, kitab ini jelas sangat mudah difahami, karena
penggunaan bahasa yang sederhana juga tidak berbelit-belit. Hemat penulis,
kelebihan ini merupakan efek dari adanya metode penulisan tafsir yang sangat
jelas dan meyakinkan, yaitu dengan tujuh langkah disertai pemaparan ayat dan
penegasan di akhirnya. Selain itu, penulis kitab ini, dalam bahasa-bahasa yang
digunakannya—terutama diakhir pembahasan—mencerminkan seorang yang sangat taat.
Sehingga dapat sangat meyakinkan pembaca.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syekh Muhammad Ali As
Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang
terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya. Nama lengkap
beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni. Beliau lahir di kota
Helb, Syiria pada tahun 1928 M.
Adapun secara teknis
dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh langkah (makna
secara umum, munasabah dengan ayat lain, menjelaskan ayat dari segi tata
bahasa, menyebutkan sabab nuzul ayat, menjelaskan makna inti, dipaparkan dari
segi sastra, dan terakhir faidah-faidah ayat), sebelumnya dipaparkan terlebih
dahulu ayat-ayat yang akan dibahas dan diakhirnya terkadang ditambah dengan
adanya penekanan mengenai hukum yang dibahas.
Terdapat berbagai
kritikan yang bernada negatif tertuju kepada Safwah At-Tafasir, yaitu. pertama,
datang dari seorang ulama asal Saudi yang bernama Sholih bin Fauzan yang
mengatakan bahwa dalam Safwah At-Tafasir terdapat takwil yang bathil. Kedua, kritikan keras datang dari Bakr
Abu Zayd yang sampai mengarang buku yang berjudul Ar-Rudud. Kritik
tersebut adalah terdapatnya perbenturan ideologi dalam penafsiran. Ideologi
yang dimaksud yaitu antara Asy’ari, Mu’atazilah dab Salafi.
DAFTAR
PUSTAKA
As-Shabuni,
Muhammad Ali. Safwah Al-Tafasir:
Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar Al-Faikr, 2001 M/ 1421 H
---------------------------------. Rawa’i’
Al-Bayan: Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar Ibnu
‘Abbud, 1425 H/2004 M
---------------------------------. Terjemah
Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Muammal Hamidy & Imron A. Manan.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
As-Siddiqi, Hasby. Tafsir Al-Qur’an Madjied:
An-Nur. Jakarta:Bulan Bintang, 1965
Hafidz,
Subhan. Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com, diakses tanggal
14 September 2007
Imron, Ali. “Ideologi Terorisme Dalam Pemahaman
Hadis”. dalam Islam, Tradisi dan Peradaban, editor. Sahiron Syamsuddin.
Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012
Katsir, Ibnu. Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Salim Bahreisy & Said Bahreisy, Surabaya:
Bina Ilmu,1993
Nikmah, Nurun. Muhammad ali al –Sabuni: studi
terhadap kitab Tafsir Safwat al-Tafsir, Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Shihab, M. Quraush.
Tafsir A-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, 2002
Yusuf, Muhammad.
Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara
Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul) dalam “Studi Tafsir
Kontemporer”, editor: M. Alfatih Suryadilaga. Yogyakarta: TH-Press, 2006
Zahwa, Abu . Tafsir Surah Al-Fatihah Menurut 10
Ulama Besar Dunia. editor. Edy Fr & Fajar Inayati. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2010
[4] Dalam kamus kata safwah
bermakna “pilihan dari segala sesuatu” atau juga “jernih/kejernihan” lihat.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997) hlm. 748
[5] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual
(Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul) dalam “Studi Tafsir Kontemporer”,
editor: M. Alfatih Suryadilaga (Yogyakarta: TH-Press, 2006) hlm. 58
[6] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur)
dan Rasional (Al-Ma’qul).,hlm. 59
[7] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual
(Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 60-61
[8] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual
(Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., 62
[9] Lihat sistematika dan
langkah penafsirannya ketika menafsirkan “Fatihatul Kitab” dalam. Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Rawa’i’ Al-Bayan: Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an Al-Karim (Beirut:
Dar Ibnu ‘Abbud, 1425 H/2004 M) jil. I, hlm. 17-44. Dapat juga dilihat Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Muammal
Hamidy & Imron A. Manan (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985) jil. I, hlm. xviii
[10] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual
(Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 63
[11] Muhammad Yusuf, Safwat
At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual
(Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul)., hlm, 64
[12] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni
dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com,
diakses tanggal 14 September 2007. Selama pencarian penulis, untuk menemukan
raferensi berupa buku mengenai kritik para ulama dan pemikir terhadap Safwah
Al-Tafasir, sangat sulit mendapatkannya kecuali kritik dan penilaian yang
baik-baik saja. Misalnya lihat. Muhammad Yusuf, Safwat At-Tafsir Li
Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara Tekstual (Al-Ma’tsur) dan
Rasional (Al-Ma’qul)., hlm. 75
[13] Muhammad Ali As Shabuni,
Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar Al-Faikr,
2001 M/ 1421 H) jil. 1, hlm. 79
[15] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni
dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com,
diakses tanggal 14 September 2007
[16] M. Quraush Shihab, Tafsir
A-Mishbah: Pesan, Kesan, dan KeserasianAl-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,
2002) jil. 1, hlm. 356-357
[17] Ibnu Katsir, Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Salim Bahreisy & Said Bahreisy
(Surabaya: Bina Ilmu,1993) jil. 1, hlm. 194
[18] Hasby As-Siddiqi, Tafsir
Al-Qur’an Madjied: An-Nur (Jakarta:Bulan Bintang, 1965) jil. 1, hlm. 255
[19] Untuk mengetahui
penjelasan lebih jauh mengenai makna ideologi lihat. Ali Imron, “Ideologi
Terorisme Dalam Pemahaman Hadis”, dalam Islam, Tradisi dan Peradaban, editor.
Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012) hlm. 112-119
[20] Subhan Hafidz, Ash-Shobuni
dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com,
diakses tanggal 14 September 2007
[22] Abu Zahwa, Tafsir
Surah Al-Fatihah Menurut 10 Ulama Besar Dunia, editor. Edy Fr & Fajar
Inayati (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) hlm. 624
Tidak ada komentar:
Posting Komentar