Masyarakat erat kaitannya dengan Agama, bahkan
tidak dapat terpisahkan. Peran agama sangat dominan dalam membentuk pandangan
hidup suatu masyarakat. Sehingga agama berfungi sebagai integrator antara suatu
individu dengan realita sosial di sekitarnya.[1] Menurut
Emile Durkheim, seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, bahwa agama dijadikan
sebagai acuan norma sosial bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan.
Tentunya dalam mengimplementasikan ajarannya, agama membutuhkan wadah yang
dalam hal ini disebut dengan ruang sosial. Dan dialektika antara suatu individu
dengan realita sosial di sekitarnya berada pada elemen ini. Berangkat dari
teori sosiologi Emile Durkheim tersebut fenomena sosial yang menarik untuk
dibahas adalah “Peringatan Maulid Nabi besar Muhammad Saw”. Yogyakarta.
Yogyakarta adalah salah satu daerah yang dipilih
sebagai representasi keragaman keagamaan yang berbeda dan unik dibanding
lainnya. Hal ini tersebab kentalnya titik persinggungan antara ajaran agama dan
budaya. Sehingga tidak menafikkan bahwa Jogja memiliki varian tradisi keagamaan
yang cukup variatif. Salah satunya adalah tradisi sekaten yang merupakan
representasi penghayatan masyarakat muslim Jogja terhadap nilai ajaran agama
yakni menghormati Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Seperti biasanya, sekatenan juga
dimeriahkan dengan pasar malam dan hiburan lain pada malam hari selama dua
bulan sebelum jatuhnya Peringatan Maulid Nabi yang berujung pada acara Grebeg.
Dalam fakta sosial, sekaten merupakan penghayatan
muslim jawa terhadap penghormatan atau pujian kepada Nabi Muhammad saw. Namun,
bila merujuk kepada spirit nilai syiar terdahulu bahwa sekaten merupakan tafsir
dari pada syahadatain yang digunakan para wali untuk mengislamkan
masyarakat jawa saat itu. Terlepas dari itu, kita tidak memungkiri bahwa perayaan
sekaten adalah bagian dari ritual keagamaan untuk kembali mengingat penting
bersyukur dengan berbagai bersama sebagai ajaran baginda Rasulullah saw. Dengan
adanya sekaten tersebut memberikan implikasi pentingnya menjaga perdamaian,
kesatuan, persaudaraan dan lain sebagainya. Jadi, sekaten sebagai ritual
keagamaan dapat dijadikan pintu masuk membuang
ego-ego kedirian maupun sosial. Hal ini selaras dengan pandangan Emile Durkheim
yang menjelaskan bahwa ritual keagamaan adalah yang paling penting dalam
mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi
integrasi institusional masyarakat.[2]
Durkheim
mempertegas pandangannya di atas dengan menganalogikan arti penting dari sebuah
upacara kematian (pemakaman) sebagai mekanisme penilaian kembali solidaritas
kelompok pada saat-saat ketegangan emosional yang tinggi. Jadi Durkheim
mempelajari aspek-aspek tertentu dari hubungan spesifik antara agama dan struktur
sosial. Dan menempatkan masalahnya pada perspektif fungsional yang berlainan
dengan menerapkannya terhadap masyarakat secara keseluruhan sebagai abstraksi
dari situasi khusus ketegangan dan kekacauan individual. Lebih jelasnya bahwa
Durkheim tidak melihat pola-pola kognitif yang terkait pada agama sebagai pokok
acuan yang esensial melainkan dilihat dalam hubungan fungsional dengan sejumlah
unsur sistem sosial dari tindakan.[3]
Fenomena
Peringatan Maulid Nabi di Yogyakarta merupakan sebuah bentuk spirit yang
dibangun untuk memahami agama secara simbolik. Karena inti emosi keagamaan
tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya untuk itu semata-mata merupakan
perkiraan-perkiraan dan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai
salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sacral dalam
fikiran dan jiwa para pemeluk agama yang bersangkutan, simbolisme, meskipun
kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah tetapi
mempunyai potensi istimewa. Karena lambing-lambang itu mampu membangkitkan
perasaan dan keterikatan lebih daripada sekedar formulasi verbal dari
benda-benda yang mereka percayai sebagai lambang tersebut. Lambang-lambang
tersebut sepanjang sejarah dan juga sampai sekarang merupakan pendorong yang
paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk
dipahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif
untuk mempererat persatuan antara para pemeluk agama di dunia.[4]
Keunikan
Kota Yogyakarta diantaranya terlihat pada acara Peringatan Maulid Nabi tiap
tahunnya ini. Rentetan kegiatan yang dilakukan sebelum menjelang peringatan
tersebutpun seolah menjadi representasi dari ajaran agama yang sebenarnya.
Fenomena ini tidak terlepas dari Akulturasi antara Budaya Jawa dengan Ajaran
Agama Islam yang menjadi spirit tersendiri dan mengkonstruksi pandangan hidup
masyarakat Yogyakarta. Tepat dua bulan sebelum acara puncak, telah terbentuk
sekatenan yang diselenggarakan di alun-alun utara. Acara ini dikemas tidak
hanya sebagai pesta rakyat dengan pasar malam dan hiburan anak. Namun juga
dengan memasukkan pesan inti dari acara tersebut lewat pagelaran wayang kulit.
Dan ditutup dengan acara Grebeg di Kraton, yakni dengan membagi-bagikan hadiah
dari tumpukan nasi tumpeng kepada masyarakat sekitar.
Peringatan
Maulid Nabi Muhammad di Yogyakarta dengan budaya khasnya merupakan reward dari
proses islamisasi yang dilakukan para wali. Dan membentuk nilai-nilai sosial
yang sedemikian dakhsyatnya sampai saat ini. Sehingga dapat dirasakan semua kalangan tanpa
memandang status sosial. Namun faktanya kini,
tradisi ini hanya sebagai bentuk euforia saja. Acara sekatenan, tidak
sedikit dari pengunjung yang hadir memaknainya hanya sebagai ajang berfoya-foya
dan pasar malam saja. Sementara acara Grebeg, terkadang juga malah menimbulkan
konflik antar individu karena saling berebut hadiah dan tidak jarang juga
menimbulkan korban luka. Sejatinya dikarenakan
ada hal yang terlupakan dan merupakan
pesan inti (esensial) dari tradisi tersebut. Yakni pentingnya menjaga
perdamaian, kesatuan, persaudaraan dan sebagai pintu masuk membuang ego-ego
kedirian maupun sosial.
[1] Lihat Khozin, Refleksi
Keberagamaan dari Kepekaan teologis Menuju Kepekaan Sosial, (UMM Press
:Malang) 2004, hlm 54-55.
[2] Lihat Robertson, Roland, Agama
: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta),
1998. hlm. 55-56.
[3] Lihat Robertson, Roland, Agama : Dalam Analisa
dan Interpretasi Sosiologi, (Rajawali Press ; Jakarta), 1998. hlm. 56.
[4] Lihat K.Nottingham, Elizabeth, Agama
dan Masyarakat “Suatu Pengantar Sosiologi Agama”, Cet IV (PT.Raja Grafindo:
Jakarta)1993, hlm. 16-17.