A. Latar Belakang Masalah
Tafsir sahabat berakhir dengan meninggalnya
tokoh-tokoh sahabat yang dulunya menjadi guru dari pada tabi’in dan digantikan
dengan tafsir para tabi’in. para tabi’in selalu mengikuti jejak guru-gurunya
yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an khususnya mengenai ayat-ayat yang
tersembunyi pengertianya bagi umumnya orang. Penafsiran Rasulullah
dan para sahabat yang tidak mencakup semua ayat al-Qur’an dan hanya menafsirkan
bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang sesame denganya, menjadikan
munculnya problem baru, yakni bertambahnya persoalan-persoalan yang sulit
dipahami orang-orang sesudah mereka karena rentang waktu dan tempat yang
panjang. Oleh karena itu, para tabi’in yang menekuni bidang tafsir mereka perlu
untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka amenambahkan
kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan
tersebut. Setelah itu munculah generasi sesudah tabi,in yaitu para tabi’
tabi’in.
Generasi ini pun berusaha
menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan bedasarkan pada
pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata ,
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya al-Qur’an yang mereka
pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarjana yang lainya.[1]
Untuk itu perlu kiranya membahas lebih lanjut tentang tafsir dimasa tabi’in.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan oleh
penyusun di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut
:
1)
Bagaimanakah Karakteristik Penafsiran pada era tabi’in beserta sumber
penafsirannyaa
2)
Siapakah Mufassir di era Tabi’in beserta aliran-alirannya?
3)
Bagaimanakah Karakteristik Tabi’ Tabi’in dalam menafsirkan ayat al Qur’an ?
PEMBAHASAN
A.
Mufassir Era Tabi’in
Ketika zaman sahabat telah berlalu, tersebarlah dalam
kalangan tabi’in ulama’-ulama’ yang menerima riwayat-riwayat dari sahabat itu. Karena
semakin luasnya ekspansi Negara Islam, mempengaruhi juga tersebarnya para
sahabat didaerah-daerah tertentu. Dan setiap sahabat mebawa ilmu maka banyak
melahirkan murid-murid yang banayak, daari ini timbulah aliran-aliran dan
perguruan tafsir, sesuai denga konteks geografi snya (Dr.H. Abdul Mustaqim.
2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
Tabi’in yang terkenal adalah murid-murid Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud. Yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas ialah Mujahid Ibn
Jabr, Atha’ ibn Abi Rahah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas dan yang paling banyak
meriwayatkan dairi Ibnu Abbas adalah
Ikrimah dan yang paling sedikit adalah
Mujahid, kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Alqamah an;Nakha’y,
Masruq ibn Al-Ajda’ al-Hamdany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan al-Aswad ibn
Yazid an-Nakha’y.
Pada masa tabi’in aliran-aliran tafsir dapat
dikategorikan menjadi 3 kelompok :
1. Aliran makkah, aliran ini didirikan oleh
murid-murid sahabat Abdullah ibn ‘Abbas seperti : Said ibn Jubair, Mujahid,
‘Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani.
mereka semua berasal dari hamba sahaya yang sudah di merdekakan . aliran ini
berasal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkahyang menafsirkan
al-Qur’an kepada Tabi’in denga menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabi’in
kemudian meriwaatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya kemudia
mentrasferkan kegenerasi berikutnya. Aliran ini berbeda-beda dalam pemakaian
qira’ah contoh Said Ibn Jubair kadang memakai qira’ah Ibnu Abbas, kadang
memakai qira’ahnya Ibnu Mas’ud dan kadang memakai qira’ahnya Zaid bin Tsabit.
Dalam metode penafsiran, aliran ini memakai dasar aqli (ra’yi). (Dr.H. Abdul
Mustaqim. 2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
2. Aliran Madinah, aliran ini dipelopori
oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinah dan
selanjutnya diteruskan oleh Tabi’in Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam
dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Aliran tafsir madinah muncul karena banyaknya
sahabat yang menetap di madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah rasul yang
diikuti oleh para tabi’in sebagai murid-murid sahabat melalui ubay bin ka’ab.
Melalui beliaulah para tabi’in banyak menafsirkan al-Qur’an yang seterusnya
disebar luaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita.
Pada aliran tafsir madinah telah ada system
penulisan pada naskah-naskah dari ubay bin ka’ab lewat abu ‘Aliyah dari Rabi’
dari Abu Ja’far al-Razi. Demikian juga ibu jarir, ibnu abi hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari ubay
lewat abu ‘Aliyah. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil pada ayat-ayat
al-Qur’an. Dengan kata lain, pada aliran tafsir di Madinah ini juga telah timbul
penafsiran bir ra’yi. Kalau demikian , sebenarnya tafsir bir ra’yi tidakl perlu
di jauhi sepanjang memiliki argumentasi yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun
logika.
3. Aliran Irak aliran ini dipelopori oleh
Abdullah ibn Mas’ud (dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran ahli
ra’yi) dan dilindungi oleh Gubernur irak ‘Ammar bin Yasir, serta di dukung oleh
tabi’in di Irak seperti ‘Alqomah bin qois, masruq, Aswad bin Yasir, Murrah
al-Hamdani, amir al-Syab’bi, Hasan al-Basri, Qatadah bin Di’amah.
Berangkat
dari penunjukan Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai gubernur di
Kuffah, dan ibnu Mas’ud sebagai ulama di
Kuffah, penafsiran al-Qur’an ibnu Mas’ud banyak di ikuti oleh tabi’in Irak ,
yang kemudian di lanjutkan kepada generasi selanjutnya.
Secara
gelobal, aliran ini banyak bersifat ra’yi, dan hal ini wajar, karena jauh dari
pusat study hadis yang ada di Madinah. Sebagai akibatnya , maka timbul banyak
masalah khalifah dalam menafsirkan al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan
maetode istid-lal (mengambil ayat
sebagai dalil yang bersifat deduktif). Bahkan mulai muncul pula sektarianisme
ideologi, seperti yang di
nisbatkan kepada imam Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi yang bernilai berbau aliran
Qadariyyah, karena terlalu ketika iya berbicara masalah qada dan qadar. Itulah
sebabnya sebagian orang enggan untuk mengambil riwayat darinya. Demikian pula,
kita jumpai Hasan al-Basri yanga begitu tegas menetapkan adanya qadar dalam
al-Qur’an sehingga iya mengkafirkan pihak yang menolaknya. Munculnya perbedaan
itu, sejauh masih pada masalah khalifah furu’ atau cabang adalah sah-sah saja
dan tidak menjadi masalah, bahkan dapat menjadi rahmah jika masing-masing dapat
saling menghargai.
Ibn taimiyyah berkata “ sepandai-pandai ulama
tabi’in dalam urusan tafsir ialah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama’-ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan
Malik bin Anas”.[2] Yang
paling terkenal menurut Ibn Taimiyyah dikalangan tabi’in adalah Mujahid dan
Sa’id ibn Jubair, dia berkata “oleh karena mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar,
berpeganglah Asy-Syafi’I dan al-Bukhary kepadanya.” Annawawy berkata”apabila
kamu telah mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu”.
Namun sebagian ulama’ tidak menerima tafsir Mujahid,
dengan alasan bahwa beliau banyak bertanyak dengan ahli kitab. Sufyan
ats-Tsaury berkata : “ Ambilah
tafsir al-Qur’an dari empat ulama besar yaitu Sa’id ibn Juabair, Mujahid,
Ikrimah dan Dhahak ibn Muhazim”.
B. Sumber tafsir tabi’in
Dalam penafsiran dengan ijtihad mengalami perbedaan
antara menerima dan tidaknya terjadi dikalangan sahabat maupun tabi’in.
diantara tabi’in yang menolah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad adalah
Sa’id ibn Musayyab dan Ibnu Sirin. Kemudian yang
membolehkan diantaranya Mujahid,Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Oleh karena itu timbulah perbedaan antara tafsir dan
ta’wil. Tafsir ialah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan dasar naqal yang diterima dari Rasul dan dari
para sahabat. Takwil ialah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad melalui
pengertian yang dalam mengenai makna kata-kata tunggal dan petunjuk-petyunjuk bahasa.[3]
Ringkasnya ulama’ tabi’in terbagi atas dua golongan,
karena itu terdapat dua manhaj (ALIRAN) yaitu manhaj muhadditsin, menafsirkan
dengan manqul dan manhaj aqliyyin (ijtihadiyyin)
Para mufassir dimasa ini
(tabi’in)dalam menafsirkan al-Qur’an dengan sumber-sumber sebagai berikut :
1. Ayat al-Qur’an
2. Hadis Nabi Muhammad
3. Pendapat para sahabat
4. Keterangan dari ahli kitab baik yahudi
maupun Nasrani
5. Ijtihad para tabi’in sendiri.
Metode yang dipakai para tabi’in tidak jauh beda dengan
apa yang dipakai oleh sahabat namun, pada masa tabi’in ini banyak dirasuki
kisah-kisah israilliyat, terlebih ketika itu terjadi pemotongan sanad dan
pemalsuan hadis. Sehingga ketika membaca kisah
israilliyat harus hati-hati.
Ijtihad dijadikan salah satu metode penafsiran yang
melatar belakangi diantaranya adalah :
1. Karena penafsiran yang dilakukan sahabat
belum mencakup semua ayat-ayat al-Qur’an
2. Jauhnya mereka dari pusat studi hadis,
sehingga mereka tidak mendapatkan hadis dan qawl sahabat, mereka menggunakan
ra’yu untuk berijtihad memahami al-Qur’an.
C. Karakteristik Tafsir Tabi’in
Di masa ini corak tafsir bil riwayah masih
mendominasi penafsiran para tabi’in. Karena para tabi’in meriwayatkan tafsir
dari sahabat sebagaiman juga para tabi’in sendiri saling meriwayatkan satu sama
lain. Meskipun sudah muncul ra’yu dalam menafsirkan al-qur’an, tetapi
unsur periwayatan lebih dominan. Adapun karakteristik tafsir di erah tabi’in
secara ringkas, sebagai berikut :
·
Pada masa ini tafsir belum terkodifikasikan secara independen
·
Tradisi tafsir bersifat hapalan melalui periwayatan
·
Tafsir sudah dimasuki israillyat, karena pada tabiin berkeinginan untuk
mencari penjelasan yang obyektif mengenai berita dalam Al-qur’an
·
Bermunculan benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya
·
Banyak perbedaan pendapat pada penafsiran tabi’in dan sahabat[4]
Pada era ini, cerita-cerita irailiyyat banyak masuk
tradisi penafsiran karena setelah banyak ahli kitab masuk islam, para tabi’in
banyak yang menukil kisah-kisah israiliyyat ke dalam tafsir seperti tafsir yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Akbar dan lain sebagainya.
Cerita israiliyyat biasanya berhubung dengan penciptaan alam rahasia-rahasia
makhluk yang ada dalamnya dan cerita-cerita Nabi dengan ummatnya terdahulu.
Adapun penafsiran Mujahid, murid dari Ibnu Abbas akan
tetapi penafsiranya kental dengan nuansa penafsiran Ibnu Mas’ud yang bercorak
Rasional.[5]
Mujahid menafsirkan : tidak secara tekstual, yang berarti
mereka dirubah menjadi kera yang hina. Akan tetapi penafsiranya dengan sebuah
kalam Matsal ( perumpamaan ), yang berarti merubah hati atau kelakuan
mereka menjadi hina seperti halnya kera.[6]
- Tafsir Tabi’ Tabi’in
Setelah periode shahabat beserta tabi’in, pergerakan
dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan
terhadap hadis Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa
dari penguasa ( Khalifah ) yang berkuasa pada saat itu ( masa akhir dari
dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah ).[7]
Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (66-101 H., mulai berkuasa pada tahun 99
H.) yang memulai melakukan penerapan kebijakan pembukuan terhadap Hadis-hadis
Nabi Saw.[8]
Kebijakan Dinasti
Abbasiyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada
periode ini. Pada masa Dinasti Abbasiyah perkembangan keilmuan Islam sangat
pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti
ilmu Gramatika Arab ( nahw-sharf), hadis, sejarah ilmu kalam dan lainya
mendapat perhatian yang cukup besar.[9]
Mulai periode ini dan periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada
riwayat hadis Nabi Saw, Shahabat, dan tabiin (naql,riwayat), mulai
bergerak menjalar ke wilayah nalar-ijtihad (aqli).[10]
Di era tabi’i tabi’in, mereka hanya meneruskan ilmu yang
diterima dari para tabi’in dengan mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran
ulama terdahulu kemudian diterangkan ke dalam kitab-kitab tafsir. Seperti yang
dilakukan Sufyan bin Uyainah ( w. 198 H ), Abdurrazzaq bin Hammam ( w. 211 H ),
Yazid bin Harun assulamy (w. 117 H), dan lain-lain.[11]
Namun Tafsir pada golongan ini tidak ada sedikitpun yang sampai kepada kita,
yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka
seperti yang termuat dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Secara epistemologi terjadi pergeseran mengenai rujukan
penafsiran antara era shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Pada masa shahabat,
mereka tidak tertarik mengggunakan riwayat-riwayat isra’iliyyat dari ahli
kitab, sedangkan tabi’in mulai banyak menggunakan sumber-sumber isra’iliyyat
terutama untuk menafsirkan ayat-ayat yang berupa kisah yang diceritakan
al-Qur’an secara global. Dan penafsiran seperti ini berkembang sampai tahun
150an Hijriyah dan era ini disebut era formatif. Sehingga pada masa ini al-Qur’an relatif masih sangat
terbuka untuk ditafsirkan dan belum banyak mainstream pemikiran yang berbeda,
kecuali beberapa kasus saja yang ada di masa tabi’in.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-Azim Vol I, h. 436. Kumpulan tafsir-afsir mujahid yang belum
dibukukan pada masanya, belakangan sudah diterbitkan dengan nama Tafsir
Mujahid yang dicetak dua volume. Lihat Su’ud Ibn Abdillah al-Fanisan,
Ikhtilaf al-Mufassirun : Asbabuhu wa Atsaruhu, ( Riyadh : Dar Isybilia, 1997 ),
h. 41.
[7] Forum Karya Ilmiyah Purna Siswa 2011 Lirboyo, al-Qur’an
Kita, Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, hlm. 211.
[8] Lihat Su’ud bin Abdillah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin:
Asbabuhu wa Atsaruhu, hlm. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar