ABSTRACT
Gagasan pemikiran inovatif dalam
dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan
peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara Barat, mereka maju dengan
pesatnya. Ide cemerlang dan progessif harus disadari betul oleh kaum muslim,
khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab
social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa
konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat
kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba
sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai
boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan
runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita
ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan
tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai
penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa
tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas
absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.
Kata
Kunci : al Kitab al ‘Araby al akbar, Dirasah ma haula an Nash, Dirasah ma fi
an Nash
A. Biografi Amin al Khuli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli lahir 1
mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah
kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang
ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap
peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[1]
Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920,
kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar
Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi
dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah, Tafsir, dan Sastra
Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan Agama pada
Fakultas Ushuluddin.[2]
Kakek Amin al-Khuli
adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang
alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Pada usia tujuh tahun
Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang
sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah
dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal
adalah al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam
penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun
dia sudah hafal Al-qur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat
”18 bulan”. Pada tahun 1957 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah
al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul
al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah
al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan
al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai
upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua
bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua
karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an[3].
Karena banyak mengkaji
Ilmu Bahasa dan Sastra, al khuli menjadi
redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al
Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al Qur’an pada kajian tematis dan
menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al
Qur’an.[4] Al Khuli yang mengajar Tafsir
al Qur’an di Universitas Mesir di Giza, adalah sarjana Mesir yang menemukan
jalan keluar dari dilematika antara filologi dan pengetahuan. Di dalam
penafsirannya mengenai tafsir al Qur’an dan sejarah, ia telah mengembangkan
suatu teori mengenai hubungan antara filologi dan penafsiran al Qur’an yang
sangat berpengaruh di Mesir.
B.
Karya-Karya Amin al Khuli (w. 1967)
Sebenarnya, Al Khuli bukanlah seorang penulis yang produktif seperti halnya
cendikiawan-cendikiawan Mesir lainnya, seperti Mahmud Syaltut (1893-1963),
Abbas Mahmud al Aqqad (1889-1964) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, karya
beliau yaang berhubungan dengan teori penafsiran al Qur’an sering dijadikan
sebagai rujukan banyak orang hinnga sekarang karena ia dipandang sebagai
rancang bangun metodologi baru, dimana aplikasi metode tersebut diterapkan
secara produktif oleh murid sekaligus istrinya, ‘Aisyah ‘Abd Rahmad Bint
Syati’.[5]
Diantara beberapa karya beliau adalah sebagai berikut[6] :
1.
Fi al- Adab al- Misri
: Fikr wa Manhaj
2.
Al- Mujaddidun fi al-
Islam ‘Ala asas Kitabay : al- Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at
Li al- Suyuti wa Bugyat al- Muqtadin wa Minhat al- Mujiddin ‘Ala Tuhfat al-
Muhtadin li al- Maraghi al- Jurjawi
3.
Silat al- Islam bi
Islah al- Masihiyyah
4.
Manahij Tajdid Fi al-
Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab
5.
Min Huda al- Qur’an :
Fi Amwalihim Misaliyyah
6.
Min Huda al- Qur’an :
Fi Ramadhan
7.
Mu’jam Alfaz al-
Qur’an al- Karim
8.
Min Huda al- Qur’an :
al- Qadat al- Rusul
9.
Min Huda al- Qur’an :
al- Qard al- Hasan
10. Al- Jundiyah wa al- Salam
11. Min Huda al- Qur’an : Musykilat Hayatina al-
Lughawiyyah
12. Fann al- Qawl
Sayangnya, tidak pernah
menerbitkan karya tafsir. Namun banyak Tulisannya mengenai al-Qur’an, salah
satunya Manahij at tajdid, sangat besar peranannya dalam memecahkan
problem antara filologi dan edufikasi makna dalam penafsiran. Dapat dipahami
mengapa beliau tidak pernah menulis tafsir, karena atmosfir di mesir pada era
40-an tidak mendukung. Sebagai fakta, ketika ia ditunjuk sebagai ketua proyek
penafsiran al Qur’an di Mesir di Giza. ia menjadi promotor dari disertasi
Muhammad Ahmad Khalafallah yang mempertahankan pendapat bahwa kisah-kisah yang
disampaikan al-Qur’an mengenai nabi-nabi yang mendahului Muhammad saw. secara
historis tidak benar. Akibat dari pendapatnya ini, terjadi perdebatan di Mesir
dan menjadikan Amin al Khuli sebagai promotor danKhalafallah dituduh murtad.
Sampai akhir hayatnya, beliau tidakmeninggalkan satu pekerjaan yang “selesai”
kecuali satu kumpulanpendapatnya yang berjudul Min Huda al Qur’an. Di
kemudian hari, bungarampai karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka Umum
Mesir hingga mencapai 10 volume. Di antaranya yang paling terkenal berjudul Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab.[7]
C.
Al Qur’an sebagai Kitab Sastra
Dalam khazanah Ilmu-ilmu al Qur’an, menurut Amin Abdullah, terdapat dua
cara yang dapat digunakan untuk memahami al Qur’an yakni, Tafsir dan Takwil.
Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini, teks ini
dijadikan subyek. Sedangkan Takwil, adalah cara untuk memahami teks dengan
menjadikan teks, atau lebih tepatnya disebut dengan pemahaman, pemaknaan dan
interpretasi terhadap teks sebagai obyek kajian.[8] Artinya perbedaan yang
mendasar dalam memahami al Qur’an adalah meletakkan al Qur’an pada posisinya.
Saat ia diposisikan sebagai subyek ataukah obyek dari sebuah pemahaman, begitu
juga diskursus al Qur’an.
Lain halnya dengan Amin al Khuli, beliau menyatakan bahwa status al Qur’an
berpijak pada pertimbangan bahwa: secara historis, al Qur’an diturunkan dalam
kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Arab dijadikan sebagai kode yang
dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Al Khuli menekankan bahwa
ke-Arab-an al Qur’an hendaknya diperhatikan terlebih dahulu daripada hal-hal
lain yang memiliki unsur religius ataupun tidak. Berangkat dari hal ini juga,
al Khuli mendefinisikan tafsir sebagai kajian sastra yang kritis dengan menggunakan
metode yang valid dan bisa diterima. Al- Khuli memposisikan al- Qur’an sebagai
teks suci atau sebagai “dokumen” sastra suci. Disamping itu juga al- Qur’an di
kategorikan sebagai kitab berbahasa Arab yang banyak memliki nilai-nilai
trans-historis dan trans-kultural. Dengan kata lain penyusun menyimpulkan bahwa
al- Qur’an menurut Amin al-Khuli adalah merupakan kitab hidayah, berbahasa Arab
dan memiliki nilai sastra yang tinggi dengan pesan-pesan secara komprehensif
dengan tetap tidak kehilangan segala fungsinya yang trans-historis dan
trans-kultural. Untuk itu, terdapat beberapa aspek pemahaman mengenai al-
Qur’an. Pertama, al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Kedua,
al- Qur’an sebagai dokumen yang berisikan pesan-pesan dari Allah SWT. Ketiga,
al- Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai trans-historis dan trans-kultural.
Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur pembangunan yang secara bersamaan
membentuk sebuah totalitas karya sastra. Disamping unsur bahasa, masih banyak
lagi unsur yang lainnya yang ikut serta dicermati dari sebuah karya sastra.
Secara garis besar, unsur sastra dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
instrinsik dan ekstrintik. Unsur Instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri, unsur ini adalah yang menyebabkan ide atau gagasan
imajiner hadir sebagai karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur
yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
karya itu sendiri. Yang termasuk unsur ini adalah : kejiwaan/ psikologi,
sosiologi, politik dan sejarah.
Dalam hal ini al- Khuli termasuk pada kajian sastra yang berunsur
ekstrinsik dalam hal epistemologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek
yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks
harus benar-benar dipahami secra natural. Artinya bahwa setiap teks harus bisa
menafsirkan dirinya sendiri dengan menggunakan keistimewaan teks itu sendiri.
Berangkat dari hal tersebut faktor psikologis teks dan juga penafsir harus
benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.[9]
D.
Metodelogi Penafsiran
Tujuan pertama ilmu tafsir menurut Amin al Khuli adalah melakukan
kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab yang teragung (al Kitab
al ‘Araby al akbar) dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar.
Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum
seorang mufassir melangkah ke
tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan al
Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi yang tepat,
kelengkapan aspek dan kesinkronan distribusi pemahaman.[10]
Al Khuli juga menyatakan bahwa secara ideal, studi tafsir al Qur’an harus
dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama tentang latar belakang al
Qur’an, tentang sejarah kelahirannya dan tentang masyarakat dimana ia
diturunkan dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh al Qur’an tersebut. Kedua,
penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan melihat kitab-kitab tafsir terdahulu.
Penekanan pada pentingnya latar belakang historis mengapresiasi secara
benar makna literal al Qur’an berarti pemegangan terhadap prinsip e mente
auctoris, yang menyatakan bahwa penafsiran dinyatakan tidak sempurna jika
tidak mampu mengungkap makna dari pengarangnya. Karena al Qur’an bukan karangan
dari seseorang melainkan “karangan Tuhan”, maka penerapan prinsip ini adalah
penekanan yang sangat bahwa al Qur’an harus dipahami secara komprehensif dengan memahami masyarakat yang menjadi tujuan
pertama kali al Qur’an diwahyukan.[11]
Dalam bahasa yang sederhana, konsep al Khuli dalam tafsir sastra mencakup
dua hal, yaitu pengkajian di sekitar al Qur’an dan pengkajian di dalam al
Qur’an. Yang pertama, Dirasah ma haula an Nash, dilakukan dengan mengkaji segala hal yang berada di sekitar kitab suci
yang tampak selama sekitar dua puluh tahun masa diturunkannya, periode
penulisannya serta pengumpulan dan penyebarannya. Sedangkan yang kedua, Dirasah
ma haula fi Nash, akan membahas kosa
kata yang ada dalam teks kemudian membahan susuna kata tersebut dalam kalimat
dengan menggunakan berbagai ilmu bahasa
yang ada.[12]
Al-Khuli telah membuat
rumusan tahapan sebagai kerangka operasional penerapan dua hal di atas yakni, Pertama,
sarjana yang ingin menulis tafsir al-Qur’an hendaknya memperhatikan semua ayat
yang membicarakan suatu subjek dan tidak hanya membatasi pada penafsiran satu
ayat saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain dalam topik yang sama[13].
Kedua, sarjana tersebut perlu melakukan studi dengan cermat dan teliti
atas setiap lafal al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik
(kajian leksikal) melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya
paralel al-Qur’an dari lafal atau masadir yang sama, Ketiga,
mufassir seharusnya menganalisis bagaimana al-Qur’an menggabungkan lafal-lafal
ke dalam kalimat serta hendaknya menjelaskan efek psikologis bahasa al-Qur’an
terhadap para pendengarnya[14].
E.
Penafsiran Bercorak Sastra al Khuli
Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi yang mengambil metode dari Suaminya dengan pendekatan sastra dapat dilihat
bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai
dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan
bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih
(obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga
menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan
pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan
makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk
menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan
dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah
al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya
dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran
materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif
ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan
di indera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha
menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan,
dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang
hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang
demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.
[1] Lihat M. Aunul Abied Shah,
“Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi Intelektual” (Bandung : Mizan,
2001) hlm. 131.
[2] M. Aunul Abied Shah,
..... hlm. 131- 132.
[3]http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=615:fikrah-edisi-33--amin-al-khuli-tonggak-pembaharuan-tafsir-untuk-keadilan-dan
kesetaraan&catid=38:fikrah&Itemid=271 , diakses pada tanggal 06 Oktober 2013. Pukul
02.15 PM
[4] Lihat M. Aunul Abied Shah, .....
hlm . 132.
[5] Bin Syati’, al tafsir al
Bayani Li al Qur’an al Kari, Vol I (Kairo : Dar al- Ma’rifah, 1972), hlm
10-11
[6] Lihat Nur Syafa’atin, “Konsep
Harta dalam Al- Qur’an Menurut Amin al- Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2005. Hlm 16-17
[8] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir
Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”, Skripsi
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta :
2011. Hlm 43-44.
[9] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir
Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli” Hlm. 49-50
[10] Lihat M. Aunul Abied Shah, .....
hlm . 140-141.
[11] Aan Radiana dan Abdul Munir,
“Analisis Linguistik”, hlm. 298.
[12]
Amin al Khuli, Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al-
Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab (Qahirah dar
al-Ma’rifat : 1961), hlm. 310-312.
[13]
Misal ketika berbicara tentang Adam, maka tidak cukup hanya merujuk pada surat
2: 30 tetapi juga surat 7: 10, 15: 28, dan 18: 45.
[14]
Dalam analisis al-Khuli, terdapat hubungan yang erat antara ilmu Balagah dan
Psikologi, yang menunjukkan urgensi interpretasi psikis terhadap teks
al-Qur’an, yang harus ditetapkan secara maksimal sesuai dengan kemampuan
sesorang dan kemajuan psikologi itu sendiri. Penetapan itu baik menyingkap
akselerasi jiwa manusia dan dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan
pembahasan al-Qur’an: kepercayaan agama, keyakinan akidah, olah perasaan,
warisan sejarah, dan pemikiran masa lampau serta tuntutan reaktualisasi yang
sesuai dengan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar