Kamis, 24 Oktober 2013

Tafsir Sastra Amin al Khuli


ABSTRACT
Gagasan pemikiran inovatif dalam dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara Barat, mereka maju dengan pesatnya. Ide cemerlang dan progessif harus disadari betul oleh kaum muslim, khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.

Kata Kunci : al Kitab al ‘Araby al akbar, Dirasah ma haula an Nash, Dirasah ma fi an Nash







  

  
A.    Biografi Amin al Khuli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli lahir 1 mei  1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[1] Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah, Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin.[2]
Kakek Amin al-Khuli adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal Al-qur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat ”18 bulan”. Pada tahun 1957 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an[3].
Karena banyak mengkaji Ilmu  Bahasa dan Sastra, al khuli menjadi redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al Qur’an pada kajian tematis dan menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil  tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al Qur’an.[4] Al Khuli yang mengajar Tafsir al Qur’an di Universitas Mesir di Giza, adalah sarjana Mesir yang menemukan jalan keluar dari dilematika antara filologi dan pengetahuan. Di dalam penafsirannya mengenai tafsir al Qur’an dan sejarah, ia telah mengembangkan suatu teori mengenai hubungan antara filologi dan penafsiran al Qur’an yang sangat berpengaruh di Mesir.
B.     Karya-Karya Amin al Khuli (w. 1967)
Sebenarnya, Al Khuli bukanlah seorang penulis yang produktif seperti halnya cendikiawan-cendikiawan Mesir lainnya, seperti Mahmud Syaltut (1893-1963), Abbas Mahmud al Aqqad (1889-1964) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, karya beliau yaang berhubungan dengan teori penafsiran al Qur’an sering dijadikan sebagai rujukan banyak orang hinnga sekarang karena ia dipandang sebagai rancang bangun metodologi baru, dimana aplikasi metode tersebut diterapkan secara produktif oleh murid sekaligus istrinya, ‘Aisyah ‘Abd Rahmad Bint Syati’.[5]
Diantara beberapa karya beliau adalah sebagai berikut[6] :
1.      Fi al- Adab al- Misri : Fikr wa Manhaj
2.      Al- Mujaddidun fi al- Islam ‘Ala asas Kitabay : al- Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at Li al- Suyuti wa Bugyat al- Muqtadin wa Minhat al- Mujiddin ‘Ala Tuhfat al- Muhtadin li al- Maraghi al- Jurjawi
3.      Silat al- Islam bi Islah al- Masihiyyah
4.      Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab
5.      Min Huda al- Qur’an : Fi Amwalihim Misaliyyah
6.      Min Huda al- Qur’an : Fi Ramadhan
7.      Mu’jam Alfaz al- Qur’an al- Karim
8.      Min Huda al- Qur’an : al- Qadat al- Rusul
9.      Min Huda al- Qur’an : al- Qard al- Hasan
10.  Al- Jundiyah wa al- Salam
11.  Min Huda al- Qur’an : Musykilat Hayatina al- Lughawiyyah
12.  Fann al- Qawl


Sayangnya, tidak pernah menerbitkan karya tafsir. Namun banyak Tulisannya mengenai al-Qur’an, salah satunya Manahij at tajdid, sangat besar peranannya dalam memecahkan problem antara filologi dan edufikasi makna dalam penafsiran. Dapat dipahami mengapa beliau tidak pernah menulis tafsir, karena atmosfir di mesir pada era 40-an tidak mendukung. Sebagai fakta, ketika ia ditunjuk sebagai ketua proyek penafsiran al Qur’an di Mesir di Giza. ia menjadi promotor dari disertasi Muhammad Ahmad Khalafallah yang mempertahankan pendapat bahwa kisah-kisah yang disampaikan al-Qur’an mengenai nabi-nabi yang mendahului Muhammad saw. secara historis tidak benar. Akibat dari pendapatnya ini, terjadi perdebatan di Mesir dan menjadikan Amin al Khuli sebagai promotor danKhalafallah dituduh murtad. Sampai akhir hayatnya, beliau tidakmeninggalkan satu pekerjaan yang “selesai” kecuali satu kumpulanpendapatnya yang berjudul Min Huda al Qur’an. Di kemudian hari, bungarampai karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka Umum Mesir hingga mencapai 10 volume. Di antaranya yang paling terkenal berjudul Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab.[7]

C.    Al Qur’an sebagai Kitab Sastra
Dalam khazanah Ilmu-ilmu al Qur’an, menurut Amin Abdullah, terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk memahami al Qur’an yakni, Tafsir dan Takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini, teks ini dijadikan subyek. Sedangkan Takwil, adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepatnya disebut dengan pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai obyek kajian.[8] Artinya perbedaan yang mendasar dalam memahami al Qur’an adalah meletakkan al Qur’an pada posisinya. Saat ia diposisikan sebagai subyek ataukah obyek dari sebuah pemahaman, begitu juga diskursus al Qur’an.
Lain halnya dengan Amin al Khuli, beliau menyatakan bahwa status al Qur’an berpijak pada pertimbangan bahwa: secara historis, al Qur’an diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Arab dijadikan sebagai kode yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Al Khuli menekankan bahwa ke-Arab-an al Qur’an hendaknya diperhatikan terlebih dahulu daripada hal-hal lain yang memiliki unsur religius ataupun tidak. Berangkat dari hal ini juga, al Khuli mendefinisikan tafsir sebagai kajian sastra yang kritis dengan menggunakan metode yang valid dan bisa diterima. Al- Khuli memposisikan al- Qur’an sebagai teks suci atau sebagai “dokumen” sastra suci. Disamping itu juga al- Qur’an di kategorikan sebagai kitab berbahasa Arab yang banyak memliki nilai-nilai trans-historis dan trans-kultural. Dengan kata lain penyusun menyimpulkan bahwa al- Qur’an menurut Amin al-Khuli adalah merupakan kitab hidayah, berbahasa Arab dan memiliki nilai sastra yang tinggi dengan pesan-pesan secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan segala fungsinya yang trans-historis dan trans-kultural. Untuk itu, terdapat beberapa aspek pemahaman mengenai al- Qur’an. Pertama, al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Kedua, al- Qur’an sebagai dokumen yang berisikan pesan-pesan dari Allah SWT. Ketiga, al- Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai trans-historis dan trans-kultural.  
Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur pembangunan yang secara bersamaan membentuk sebuah totalitas karya sastra. Disamping unsur bahasa, masih banyak lagi unsur yang lainnya yang ikut serta dicermati dari sebuah karya sastra. Secara garis besar, unsur sastra dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : instrinsik dan ekstrintik. Unsur Instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur ini adalah yang menyebabkan ide atau gagasan imajiner hadir sebagai karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya itu sendiri. Yang termasuk unsur ini adalah : kejiwaan/ psikologi, sosiologi, politik dan sejarah.
Dalam hal ini al- Khuli termasuk pada kajian sastra yang berunsur ekstrinsik dalam hal epistemologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks harus benar-benar dipahami secra natural. Artinya bahwa setiap teks harus bisa menafsirkan dirinya sendiri dengan menggunakan keistimewaan teks itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut faktor psikologis teks dan juga penafsir harus benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.[9]

D.    Metodelogi Penafsiran
Tujuan pertama ilmu tafsir menurut Amin al Khuli adalah melakukan kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab yang teragung (al Kitab al ‘Araby al akbar) dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar. Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum seorang mufassir  melangkah ke tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan al Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi yang tepat, kelengkapan aspek dan kesinkronan distribusi pemahaman.[10]
Al Khuli juga menyatakan bahwa secara ideal, studi tafsir al Qur’an harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama tentang latar belakang al Qur’an, tentang sejarah kelahirannya dan tentang masyarakat dimana ia diturunkan dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh al Qur’an tersebut. Kedua, penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan melihat kitab-kitab tafsir terdahulu.
Penekanan pada pentingnya latar belakang historis mengapresiasi secara benar makna literal al Qur’an berarti pemegangan terhadap prinsip e mente auctoris, yang menyatakan bahwa penafsiran dinyatakan tidak sempurna jika tidak mampu mengungkap makna dari pengarangnya. Karena al Qur’an bukan karangan dari seseorang melainkan “karangan Tuhan”, maka penerapan prinsip ini adalah penekanan yang sangat bahwa al Qur’an harus dipahami secara komprehensif dengan  memahami masyarakat yang menjadi tujuan pertama kali al Qur’an diwahyukan.[11]
Dalam bahasa yang sederhana, konsep al Khuli dalam tafsir sastra mencakup dua hal, yaitu pengkajian di sekitar al Qur’an dan pengkajian di dalam al Qur’an. Yang pertama, Dirasah ma haula an Nash, dilakukan dengan mengkaji segala hal yang berada di sekitar kitab suci yang tampak selama sekitar dua puluh tahun masa diturunkannya, periode penulisannya serta pengumpulan dan penyebarannya. Sedangkan yang kedua, Dirasah ma haula fi Nash, akan membahas kosa kata yang ada dalam teks kemudian membahan susuna kata tersebut dalam kalimat dengan menggunakan  berbagai ilmu bahasa yang ada.[12] 
Al-Khuli telah membuat rumusan tahapan sebagai kerangka operasional penerapan dua hal di atas yakni, Pertama, sarjana yang ingin menulis tafsir al-Qur’an hendaknya memperhatikan semua ayat yang membicarakan suatu subjek dan tidak hanya membatasi pada penafsiran satu ayat saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain dalam topik yang sama[13]. Kedua, sarjana tersebut perlu melakukan studi dengan cermat dan teliti atas setiap lafal al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik (kajian leksikal) melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya paralel al-Qur’an dari lafal atau masadir yang sama, Ketiga, mufassir seharusnya menganalisis bagaimana al-Qur’an menggabungkan lafal-lafal ke dalam kalimat serta hendaknya menjelaskan efek psikologis bahasa al-Qur’an terhadap para pendengarnya[14].

E.      Penafsiran Bercorak Sastra al Khuli

Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi yang mengambil metode dari Suaminya dengan  pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan di indera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.




[1] Lihat M. Aunul Abied Shah, “Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah  Biografi Intelektual” (Bandung : Mizan, 2001) hlm. 131.
[2] M. Aunul Abied Shah, ..... hlm. 131- 132.
[4] Lihat M. Aunul Abied Shah, ..... hlm . 132.
[5] Bin Syati’, al tafsir al Bayani Li al Qur’an al Kari, Vol I (Kairo : Dar al- Ma’rifah, 1972), hlm 10-11
[6] Lihat Nur Syafa’atin, “Konsep Harta dalam Al- Qur’an Menurut Amin al- Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2005. Hlm 16-17
[7] Lihat M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli ..... hlm . 134.
[8] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2011. Hlm 43-44.
[9] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”  Hlm. 49-50
[10] Lihat M. Aunul Abied Shah, ..... hlm . 140-141.
[11] Aan Radiana dan Abdul Munir, “Analisis Linguistik”, hlm. 298.
[12] Amin al Khuli, Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab (Qahirah dar al-Ma’rifat : 1961), hlm. 310-312.
[13] Misal ketika berbicara tentang Adam, maka tidak cukup hanya merujuk pada surat 2: 30 tetapi juga surat 7: 10, 15: 28, dan 18: 45.
[14] Dalam analisis al-Khuli, terdapat hubungan yang erat antara ilmu Balagah dan Psikologi, yang menunjukkan urgensi interpretasi psikis terhadap teks al-Qur’an, yang harus ditetapkan secara maksimal sesuai dengan kemampuan sesorang dan kemajuan psikologi itu sendiri. Penetapan itu baik menyingkap akselerasi jiwa manusia dan dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan pembahasan al-Qur’an: kepercayaan agama, keyakinan akidah, olah perasaan, warisan sejarah, dan pemikiran masa lampau serta tuntutan reaktualisasi yang sesuai dengan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar