“Have a nice filght” aku tak tahu pasti arti sebenarnya, cuman enak
di dengar di telinga. Tiada hentinya diucapkan pramugari anggun di depan
microphonenya tiap saat lepas landas. Itu pulalah yang kunantikan. Kini
aku bersiap di waiting room. Hanya memandang-mandang saja. Kau tau
kawan apa yang ku pandangi? Sama sekali tidak.
Aku bukan
memandangi keindahan tuhan ini, hanya putih dan sedikit buram yang
kulihat, seperti lampu club yang memudar warna-warni di hadapanku. Aku
tidak mabuk, aku tidak sedang sakit. Tapi aku sedang kehilangan diriku.
Di dalam “waiting room ini”, di tengah keramaian passangger, aku
kehilangan diriku.
Aku yakin, kalau itu yang bikin aku
menyadari beberapa perlakuanku selama ini. Mungkin masih ada kewajibanku
yang belum ku tunai, hura-hura, hak orang lain, atau apapun itu.
Mungkin ini balasannya. Terimakasih tuhan yang kian mengingatkanku. Aku
harus memulihkan kembali gairahku di jejeran bangku besi ini. Tiba-tiba
saja blackberry unikku berdering, one massage receive. Terpampang nama
temanku. Kok tumben, pikirku.
“selamat jalan saudaraku..
take care and Have a nice flight with your flying partner” indah sekali
kata-katanya kawan. Entah apa maksud sms nya itu, apa hanya sekedar
ucapan selamat, atau sekedar leluconan, atau ngece? Aku tak ambil
pusing, I’m replied.Ada sedikit kedamaian mengalir di tubuh ini.
Disamping harus mencari sebagian hidupku, masih ada sms tak penting yang
mencoba menghibur si hitam ini (baca: blackberry).
Ternyata
hidup itu tak seindah kata-kata kawan. Saat ini aku merasakannya, aku
mengalaminya, tak semudah itu bisa bangkit. Perlahan ku coba untuk
menghibur diri dengan perkataan bijak yang kuingat-ingat, tak bisa
langsung berubah. Bullshit! Ah, mungkin aku-nya yang belum memahaminya.
Mungkin
aku terlalu tergesa dengan nafsu. Mungkin aku terlalu dini untuk
mengikuti perkataan mereka. aku coba menanangkan diri, merenung tak
peduli. Hanya tuhan yang bisa menangkan hati ini. Hanya kepadanya segala
urusan kembali.Kau tau kawan apa sedang terjadi padaku? Aku mencoba
membalas massage-nya memberitahu
“aku ketinggalan pesawat
bro, ini lagi nunggu pesawat selanjutnya, jam 11.20 insya allah take
off, sedekahku kurang men, ketinggalan pesawat deh jadinya” aku sedikit
menghibur diri.Aku mulai mengerti seberapa besarnya harga waktu, bahkan
tak dapat di beli dengan uang, sempat-sempatnya aku berkilah begini:“Mau
tahu seberapa berharganya nilai waktu 1 menit? Tanyalah dengan orang
yang ketinggalan pesawat” hahaha
By : Sahabat Ku yang Luar Biasa "Ikhlas dan Mas Estu"
Kamis, 24 Oktober 2013
Tafsir Era Tabi'in dan Tabi' Tabiin
A. Latar Belakang Masalah
Tafsir sahabat berakhir dengan meninggalnya
tokoh-tokoh sahabat yang dulunya menjadi guru dari pada tabi’in dan digantikan
dengan tafsir para tabi’in. para tabi’in selalu mengikuti jejak guru-gurunya
yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an khususnya mengenai ayat-ayat yang
tersembunyi pengertianya bagi umumnya orang. Penafsiran Rasulullah
dan para sahabat yang tidak mencakup semua ayat al-Qur’an dan hanya menafsirkan
bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang sesame denganya, menjadikan
munculnya problem baru, yakni bertambahnya persoalan-persoalan yang sulit
dipahami orang-orang sesudah mereka karena rentang waktu dan tempat yang
panjang. Oleh karena itu, para tabi’in yang menekuni bidang tafsir mereka perlu
untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka amenambahkan
kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan
tersebut. Setelah itu munculah generasi sesudah tabi,in yaitu para tabi’
tabi’in.
Generasi ini pun berusaha
menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan bedasarkan pada
pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata ,
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya al-Qur’an yang mereka
pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarjana yang lainya.[1]
Untuk itu perlu kiranya membahas lebih lanjut tentang tafsir dimasa tabi’in.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan oleh
penyusun di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut
:
1)
Bagaimanakah Karakteristik Penafsiran pada era tabi’in beserta sumber
penafsirannyaa
2)
Siapakah Mufassir di era Tabi’in beserta aliran-alirannya?
3)
Bagaimanakah Karakteristik Tabi’ Tabi’in dalam menafsirkan ayat al Qur’an ?
PEMBAHASAN
A.
Mufassir Era Tabi’in
Ketika zaman sahabat telah berlalu, tersebarlah dalam
kalangan tabi’in ulama’-ulama’ yang menerima riwayat-riwayat dari sahabat itu. Karena
semakin luasnya ekspansi Negara Islam, mempengaruhi juga tersebarnya para
sahabat didaerah-daerah tertentu. Dan setiap sahabat mebawa ilmu maka banyak
melahirkan murid-murid yang banayak, daari ini timbulah aliran-aliran dan
perguruan tafsir, sesuai denga konteks geografi snya (Dr.H. Abdul Mustaqim.
2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
Tabi’in yang terkenal adalah murid-murid Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud. Yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas ialah Mujahid Ibn
Jabr, Atha’ ibn Abi Rahah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas dan yang paling banyak
meriwayatkan dairi Ibnu Abbas adalah
Ikrimah dan yang paling sedikit adalah
Mujahid, kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Alqamah an;Nakha’y,
Masruq ibn Al-Ajda’ al-Hamdany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan al-Aswad ibn
Yazid an-Nakha’y.
Pada masa tabi’in aliran-aliran tafsir dapat
dikategorikan menjadi 3 kelompok :
1. Aliran makkah, aliran ini didirikan oleh
murid-murid sahabat Abdullah ibn ‘Abbas seperti : Said ibn Jubair, Mujahid,
‘Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani.
mereka semua berasal dari hamba sahaya yang sudah di merdekakan . aliran ini
berasal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkahyang menafsirkan
al-Qur’an kepada Tabi’in denga menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabi’in
kemudian meriwaatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya kemudia
mentrasferkan kegenerasi berikutnya. Aliran ini berbeda-beda dalam pemakaian
qira’ah contoh Said Ibn Jubair kadang memakai qira’ah Ibnu Abbas, kadang
memakai qira’ahnya Ibnu Mas’ud dan kadang memakai qira’ahnya Zaid bin Tsabit.
Dalam metode penafsiran, aliran ini memakai dasar aqli (ra’yi). (Dr.H. Abdul
Mustaqim. 2012. Yogyakarta: Adab Perss.78)
2. Aliran Madinah, aliran ini dipelopori
oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinah dan
selanjutnya diteruskan oleh Tabi’in Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam
dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Aliran tafsir madinah muncul karena banyaknya
sahabat yang menetap di madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah rasul yang
diikuti oleh para tabi’in sebagai murid-murid sahabat melalui ubay bin ka’ab.
Melalui beliaulah para tabi’in banyak menafsirkan al-Qur’an yang seterusnya
disebar luaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita.
Pada aliran tafsir madinah telah ada system
penulisan pada naskah-naskah dari ubay bin ka’ab lewat abu ‘Aliyah dari Rabi’
dari Abu Ja’far al-Razi. Demikian juga ibu jarir, ibnu abi hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari ubay
lewat abu ‘Aliyah. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil pada ayat-ayat
al-Qur’an. Dengan kata lain, pada aliran tafsir di Madinah ini juga telah timbul
penafsiran bir ra’yi. Kalau demikian , sebenarnya tafsir bir ra’yi tidakl perlu
di jauhi sepanjang memiliki argumentasi yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun
logika.
3. Aliran Irak aliran ini dipelopori oleh
Abdullah ibn Mas’ud (dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran ahli
ra’yi) dan dilindungi oleh Gubernur irak ‘Ammar bin Yasir, serta di dukung oleh
tabi’in di Irak seperti ‘Alqomah bin qois, masruq, Aswad bin Yasir, Murrah
al-Hamdani, amir al-Syab’bi, Hasan al-Basri, Qatadah bin Di’amah.
Berangkat
dari penunjukan Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai gubernur di
Kuffah, dan ibnu Mas’ud sebagai ulama di
Kuffah, penafsiran al-Qur’an ibnu Mas’ud banyak di ikuti oleh tabi’in Irak ,
yang kemudian di lanjutkan kepada generasi selanjutnya.
Secara
gelobal, aliran ini banyak bersifat ra’yi, dan hal ini wajar, karena jauh dari
pusat study hadis yang ada di Madinah. Sebagai akibatnya , maka timbul banyak
masalah khalifah dalam menafsirkan al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan
maetode istid-lal (mengambil ayat
sebagai dalil yang bersifat deduktif). Bahkan mulai muncul pula sektarianisme
ideologi, seperti yang di
nisbatkan kepada imam Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi yang bernilai berbau aliran
Qadariyyah, karena terlalu ketika iya berbicara masalah qada dan qadar. Itulah
sebabnya sebagian orang enggan untuk mengambil riwayat darinya. Demikian pula,
kita jumpai Hasan al-Basri yanga begitu tegas menetapkan adanya qadar dalam
al-Qur’an sehingga iya mengkafirkan pihak yang menolaknya. Munculnya perbedaan
itu, sejauh masih pada masalah khalifah furu’ atau cabang adalah sah-sah saja
dan tidak menjadi masalah, bahkan dapat menjadi rahmah jika masing-masing dapat
saling menghargai.
Ibn taimiyyah berkata “ sepandai-pandai ulama
tabi’in dalam urusan tafsir ialah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama’-ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan
Malik bin Anas”.[2] Yang
paling terkenal menurut Ibn Taimiyyah dikalangan tabi’in adalah Mujahid dan
Sa’id ibn Jubair, dia berkata “oleh karena mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar,
berpeganglah Asy-Syafi’I dan al-Bukhary kepadanya.” Annawawy berkata”apabila
kamu telah mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu”.
Namun sebagian ulama’ tidak menerima tafsir Mujahid,
dengan alasan bahwa beliau banyak bertanyak dengan ahli kitab. Sufyan
ats-Tsaury berkata : “ Ambilah
tafsir al-Qur’an dari empat ulama besar yaitu Sa’id ibn Juabair, Mujahid,
Ikrimah dan Dhahak ibn Muhazim”.
B. Sumber tafsir tabi’in
Dalam penafsiran dengan ijtihad mengalami perbedaan
antara menerima dan tidaknya terjadi dikalangan sahabat maupun tabi’in.
diantara tabi’in yang menolah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad adalah
Sa’id ibn Musayyab dan Ibnu Sirin. Kemudian yang
membolehkan diantaranya Mujahid,Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Oleh karena itu timbulah perbedaan antara tafsir dan
ta’wil. Tafsir ialah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan dasar naqal yang diterima dari Rasul dan dari
para sahabat. Takwil ialah menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad melalui
pengertian yang dalam mengenai makna kata-kata tunggal dan petunjuk-petyunjuk bahasa.[3]
Ringkasnya ulama’ tabi’in terbagi atas dua golongan,
karena itu terdapat dua manhaj (ALIRAN) yaitu manhaj muhadditsin, menafsirkan
dengan manqul dan manhaj aqliyyin (ijtihadiyyin)
Para mufassir dimasa ini
(tabi’in)dalam menafsirkan al-Qur’an dengan sumber-sumber sebagai berikut :
1. Ayat al-Qur’an
2. Hadis Nabi Muhammad
3. Pendapat para sahabat
4. Keterangan dari ahli kitab baik yahudi
maupun Nasrani
5. Ijtihad para tabi’in sendiri.
Metode yang dipakai para tabi’in tidak jauh beda dengan
apa yang dipakai oleh sahabat namun, pada masa tabi’in ini banyak dirasuki
kisah-kisah israilliyat, terlebih ketika itu terjadi pemotongan sanad dan
pemalsuan hadis. Sehingga ketika membaca kisah
israilliyat harus hati-hati.
Ijtihad dijadikan salah satu metode penafsiran yang
melatar belakangi diantaranya adalah :
1. Karena penafsiran yang dilakukan sahabat
belum mencakup semua ayat-ayat al-Qur’an
2. Jauhnya mereka dari pusat studi hadis,
sehingga mereka tidak mendapatkan hadis dan qawl sahabat, mereka menggunakan
ra’yu untuk berijtihad memahami al-Qur’an.
C. Karakteristik Tafsir Tabi’in
Di masa ini corak tafsir bil riwayah masih
mendominasi penafsiran para tabi’in. Karena para tabi’in meriwayatkan tafsir
dari sahabat sebagaiman juga para tabi’in sendiri saling meriwayatkan satu sama
lain. Meskipun sudah muncul ra’yu dalam menafsirkan al-qur’an, tetapi
unsur periwayatan lebih dominan. Adapun karakteristik tafsir di erah tabi’in
secara ringkas, sebagai berikut :
·
Pada masa ini tafsir belum terkodifikasikan secara independen
·
Tradisi tafsir bersifat hapalan melalui periwayatan
·
Tafsir sudah dimasuki israillyat, karena pada tabiin berkeinginan untuk
mencari penjelasan yang obyektif mengenai berita dalam Al-qur’an
·
Bermunculan benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya
·
Banyak perbedaan pendapat pada penafsiran tabi’in dan sahabat[4]
Pada era ini, cerita-cerita irailiyyat banyak masuk
tradisi penafsiran karena setelah banyak ahli kitab masuk islam, para tabi’in
banyak yang menukil kisah-kisah israiliyyat ke dalam tafsir seperti tafsir yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Akbar dan lain sebagainya.
Cerita israiliyyat biasanya berhubung dengan penciptaan alam rahasia-rahasia
makhluk yang ada dalamnya dan cerita-cerita Nabi dengan ummatnya terdahulu.
Adapun penafsiran Mujahid, murid dari Ibnu Abbas akan
tetapi penafsiranya kental dengan nuansa penafsiran Ibnu Mas’ud yang bercorak
Rasional.[5]
Mujahid menafsirkan : tidak secara tekstual, yang berarti
mereka dirubah menjadi kera yang hina. Akan tetapi penafsiranya dengan sebuah
kalam Matsal ( perumpamaan ), yang berarti merubah hati atau kelakuan
mereka menjadi hina seperti halnya kera.[6]
- Tafsir Tabi’ Tabi’in
Setelah periode shahabat beserta tabi’in, pergerakan
dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan
terhadap hadis Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa
dari penguasa ( Khalifah ) yang berkuasa pada saat itu ( masa akhir dari
dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah ).[7]
Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (66-101 H., mulai berkuasa pada tahun 99
H.) yang memulai melakukan penerapan kebijakan pembukuan terhadap Hadis-hadis
Nabi Saw.[8]
Kebijakan Dinasti
Abbasiyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada
periode ini. Pada masa Dinasti Abbasiyah perkembangan keilmuan Islam sangat
pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti
ilmu Gramatika Arab ( nahw-sharf), hadis, sejarah ilmu kalam dan lainya
mendapat perhatian yang cukup besar.[9]
Mulai periode ini dan periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada
riwayat hadis Nabi Saw, Shahabat, dan tabiin (naql,riwayat), mulai
bergerak menjalar ke wilayah nalar-ijtihad (aqli).[10]
Di era tabi’i tabi’in, mereka hanya meneruskan ilmu yang
diterima dari para tabi’in dengan mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran
ulama terdahulu kemudian diterangkan ke dalam kitab-kitab tafsir. Seperti yang
dilakukan Sufyan bin Uyainah ( w. 198 H ), Abdurrazzaq bin Hammam ( w. 211 H ),
Yazid bin Harun assulamy (w. 117 H), dan lain-lain.[11]
Namun Tafsir pada golongan ini tidak ada sedikitpun yang sampai kepada kita,
yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka
seperti yang termuat dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Secara epistemologi terjadi pergeseran mengenai rujukan
penafsiran antara era shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Pada masa shahabat,
mereka tidak tertarik mengggunakan riwayat-riwayat isra’iliyyat dari ahli
kitab, sedangkan tabi’in mulai banyak menggunakan sumber-sumber isra’iliyyat
terutama untuk menafsirkan ayat-ayat yang berupa kisah yang diceritakan
al-Qur’an secara global. Dan penafsiran seperti ini berkembang sampai tahun
150an Hijriyah dan era ini disebut era formatif. Sehingga pada masa ini al-Qur’an relatif masih sangat
terbuka untuk ditafsirkan dan belum banyak mainstream pemikiran yang berbeda,
kecuali beberapa kasus saja yang ada di masa tabi’in.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-Azim Vol I, h. 436. Kumpulan tafsir-afsir mujahid yang belum
dibukukan pada masanya, belakangan sudah diterbitkan dengan nama Tafsir
Mujahid yang dicetak dua volume. Lihat Su’ud Ibn Abdillah al-Fanisan,
Ikhtilaf al-Mufassirun : Asbabuhu wa Atsaruhu, ( Riyadh : Dar Isybilia, 1997 ),
h. 41.
[7] Forum Karya Ilmiyah Purna Siswa 2011 Lirboyo, al-Qur’an
Kita, Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, hlm. 211.
[8] Lihat Su’ud bin Abdillah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin:
Asbabuhu wa Atsaruhu, hlm. 39.
Tafsir Sastra Amin al Khuli
ABSTRACT
Gagasan pemikiran inovatif dalam
dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan
peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara Barat, mereka maju dengan
pesatnya. Ide cemerlang dan progessif harus disadari betul oleh kaum muslim,
khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab
social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa
konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat
kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba
sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai
boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan
runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita
ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan
tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai
penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa
tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas
absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemik di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideologi. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang ditawarkan.
Kata
Kunci : al Kitab al ‘Araby al akbar, Dirasah ma haula an Nash, Dirasah ma fi
an Nash
A. Biografi Amin al Khuli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli lahir 1
mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah
kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang
ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap
peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[1]
Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920,
kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar
Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi
dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah, Tafsir, dan Sastra
Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan Agama pada
Fakultas Ushuluddin.[2]
Kakek Amin al-Khuli
adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang
alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at. Pada usia tujuh tahun
Amin tinggal bersama pamannya dan digembleng dangan pendidikan agama yang
sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an, menghafal tajwid al-tuhfah
dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal
adalah al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Alfiah. Dalam
penghafalan itu dia diberi keistimewaan, yakni di usia yang ke sepuluh tahun
dia sudah hafal Al-qur’an, khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat
”18 bulan”. Pada tahun 1957 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah
al-Islamiyah wa Nadmuha yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul
al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah
al-Jundiyah fi fiqhiyah, al-Aslihah al-Nariyah fil Juyusy al-Islamiyah dan
al-jundiyah fi al-Islam. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai
upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Quran. Kedua
bukunya, Fi Adabil Masyri’ dan Fannul Qaul (1947) adalah dua
karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alqur’an[3].
Karena banyak mengkaji
Ilmu Bahasa dan Sastra, al khuli menjadi
redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al
Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al Qur’an pada kajian tematis dan
menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al
Qur’an.[4] Al Khuli yang mengajar Tafsir
al Qur’an di Universitas Mesir di Giza, adalah sarjana Mesir yang menemukan
jalan keluar dari dilematika antara filologi dan pengetahuan. Di dalam
penafsirannya mengenai tafsir al Qur’an dan sejarah, ia telah mengembangkan
suatu teori mengenai hubungan antara filologi dan penafsiran al Qur’an yang
sangat berpengaruh di Mesir.
B.
Karya-Karya Amin al Khuli (w. 1967)
Sebenarnya, Al Khuli bukanlah seorang penulis yang produktif seperti halnya
cendikiawan-cendikiawan Mesir lainnya, seperti Mahmud Syaltut (1893-1963),
Abbas Mahmud al Aqqad (1889-1964) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, karya
beliau yaang berhubungan dengan teori penafsiran al Qur’an sering dijadikan
sebagai rujukan banyak orang hinnga sekarang karena ia dipandang sebagai
rancang bangun metodologi baru, dimana aplikasi metode tersebut diterapkan
secara produktif oleh murid sekaligus istrinya, ‘Aisyah ‘Abd Rahmad Bint
Syati’.[5]
Diantara beberapa karya beliau adalah sebagai berikut[6] :
1.
Fi al- Adab al- Misri
: Fikr wa Manhaj
2.
Al- Mujaddidun fi al-
Islam ‘Ala asas Kitabay : al- Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at
Li al- Suyuti wa Bugyat al- Muqtadin wa Minhat al- Mujiddin ‘Ala Tuhfat al-
Muhtadin li al- Maraghi al- Jurjawi
3.
Silat al- Islam bi
Islah al- Masihiyyah
4.
Manahij Tajdid Fi al-
Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab
5.
Min Huda al- Qur’an :
Fi Amwalihim Misaliyyah
6.
Min Huda al- Qur’an :
Fi Ramadhan
7.
Mu’jam Alfaz al-
Qur’an al- Karim
8.
Min Huda al- Qur’an :
al- Qadat al- Rusul
9.
Min Huda al- Qur’an :
al- Qard al- Hasan
10. Al- Jundiyah wa al- Salam
11. Min Huda al- Qur’an : Musykilat Hayatina al-
Lughawiyyah
12. Fann al- Qawl
Sayangnya, tidak pernah
menerbitkan karya tafsir. Namun banyak Tulisannya mengenai al-Qur’an, salah
satunya Manahij at tajdid, sangat besar peranannya dalam memecahkan
problem antara filologi dan edufikasi makna dalam penafsiran. Dapat dipahami
mengapa beliau tidak pernah menulis tafsir, karena atmosfir di mesir pada era
40-an tidak mendukung. Sebagai fakta, ketika ia ditunjuk sebagai ketua proyek
penafsiran al Qur’an di Mesir di Giza. ia menjadi promotor dari disertasi
Muhammad Ahmad Khalafallah yang mempertahankan pendapat bahwa kisah-kisah yang
disampaikan al-Qur’an mengenai nabi-nabi yang mendahului Muhammad saw. secara
historis tidak benar. Akibat dari pendapatnya ini, terjadi perdebatan di Mesir
dan menjadikan Amin al Khuli sebagai promotor danKhalafallah dituduh murtad.
Sampai akhir hayatnya, beliau tidakmeninggalkan satu pekerjaan yang “selesai”
kecuali satu kumpulanpendapatnya yang berjudul Min Huda al Qur’an. Di
kemudian hari, bungarampai karya-karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka Umum
Mesir hingga mencapai 10 volume. Di antaranya yang paling terkenal berjudul Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab.[7]
C.
Al Qur’an sebagai Kitab Sastra
Dalam khazanah Ilmu-ilmu al Qur’an, menurut Amin Abdullah, terdapat dua
cara yang dapat digunakan untuk memahami al Qur’an yakni, Tafsir dan Takwil.
Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini, teks ini
dijadikan subyek. Sedangkan Takwil, adalah cara untuk memahami teks dengan
menjadikan teks, atau lebih tepatnya disebut dengan pemahaman, pemaknaan dan
interpretasi terhadap teks sebagai obyek kajian.[8] Artinya perbedaan yang
mendasar dalam memahami al Qur’an adalah meletakkan al Qur’an pada posisinya.
Saat ia diposisikan sebagai subyek ataukah obyek dari sebuah pemahaman, begitu
juga diskursus al Qur’an.
Lain halnya dengan Amin al Khuli, beliau menyatakan bahwa status al Qur’an
berpijak pada pertimbangan bahwa: secara historis, al Qur’an diturunkan dalam
kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Arab dijadikan sebagai kode yang
dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Al Khuli menekankan bahwa
ke-Arab-an al Qur’an hendaknya diperhatikan terlebih dahulu daripada hal-hal
lain yang memiliki unsur religius ataupun tidak. Berangkat dari hal ini juga,
al Khuli mendefinisikan tafsir sebagai kajian sastra yang kritis dengan menggunakan
metode yang valid dan bisa diterima. Al- Khuli memposisikan al- Qur’an sebagai
teks suci atau sebagai “dokumen” sastra suci. Disamping itu juga al- Qur’an di
kategorikan sebagai kitab berbahasa Arab yang banyak memliki nilai-nilai
trans-historis dan trans-kultural. Dengan kata lain penyusun menyimpulkan bahwa
al- Qur’an menurut Amin al-Khuli adalah merupakan kitab hidayah, berbahasa Arab
dan memiliki nilai sastra yang tinggi dengan pesan-pesan secara komprehensif
dengan tetap tidak kehilangan segala fungsinya yang trans-historis dan
trans-kultural. Untuk itu, terdapat beberapa aspek pemahaman mengenai al-
Qur’an. Pertama, al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Kedua,
al- Qur’an sebagai dokumen yang berisikan pesan-pesan dari Allah SWT. Ketiga,
al- Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai trans-historis dan trans-kultural.
Dalam karya sastra terdapat unsur-unsur pembangunan yang secara bersamaan
membentuk sebuah totalitas karya sastra. Disamping unsur bahasa, masih banyak
lagi unsur yang lainnya yang ikut serta dicermati dari sebuah karya sastra.
Secara garis besar, unsur sastra dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
instrinsik dan ekstrintik. Unsur Instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri, unsur ini adalah yang menyebabkan ide atau gagasan
imajiner hadir sebagai karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur
yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
karya itu sendiri. Yang termasuk unsur ini adalah : kejiwaan/ psikologi,
sosiologi, politik dan sejarah.
Dalam hal ini al- Khuli termasuk pada kajian sastra yang berunsur
ekstrinsik dalam hal epistemologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek
yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks
harus benar-benar dipahami secra natural. Artinya bahwa setiap teks harus bisa
menafsirkan dirinya sendiri dengan menggunakan keistimewaan teks itu sendiri.
Berangkat dari hal tersebut faktor psikologis teks dan juga penafsir harus
benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.[9]
D.
Metodelogi Penafsiran
Tujuan pertama ilmu tafsir menurut Amin al Khuli adalah melakukan
kontemplasi terhadap al Qur’an sebagai sebuah kitab yang teragung (al Kitab
al ‘Araby al akbar) dan mempunyai aspek kesusastraan paling besar.
Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum
seorang mufassir melangkah ke
tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan al
Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi yang tepat,
kelengkapan aspek dan kesinkronan distribusi pemahaman.[10]
Al Khuli juga menyatakan bahwa secara ideal, studi tafsir al Qur’an harus
dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama tentang latar belakang al
Qur’an, tentang sejarah kelahirannya dan tentang masyarakat dimana ia
diturunkan dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh al Qur’an tersebut. Kedua,
penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan melihat kitab-kitab tafsir terdahulu.
Penekanan pada pentingnya latar belakang historis mengapresiasi secara
benar makna literal al Qur’an berarti pemegangan terhadap prinsip e mente
auctoris, yang menyatakan bahwa penafsiran dinyatakan tidak sempurna jika
tidak mampu mengungkap makna dari pengarangnya. Karena al Qur’an bukan karangan
dari seseorang melainkan “karangan Tuhan”, maka penerapan prinsip ini adalah
penekanan yang sangat bahwa al Qur’an harus dipahami secara komprehensif dengan memahami masyarakat yang menjadi tujuan
pertama kali al Qur’an diwahyukan.[11]
Dalam bahasa yang sederhana, konsep al Khuli dalam tafsir sastra mencakup
dua hal, yaitu pengkajian di sekitar al Qur’an dan pengkajian di dalam al
Qur’an. Yang pertama, Dirasah ma haula an Nash, dilakukan dengan mengkaji segala hal yang berada di sekitar kitab suci
yang tampak selama sekitar dua puluh tahun masa diturunkannya, periode
penulisannya serta pengumpulan dan penyebarannya. Sedangkan yang kedua, Dirasah
ma haula fi Nash, akan membahas kosa
kata yang ada dalam teks kemudian membahan susuna kata tersebut dalam kalimat
dengan menggunakan berbagai ilmu bahasa
yang ada.[12]
Al-Khuli telah membuat
rumusan tahapan sebagai kerangka operasional penerapan dua hal di atas yakni, Pertama,
sarjana yang ingin menulis tafsir al-Qur’an hendaknya memperhatikan semua ayat
yang membicarakan suatu subjek dan tidak hanya membatasi pada penafsiran satu
ayat saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain dalam topik yang sama[13].
Kedua, sarjana tersebut perlu melakukan studi dengan cermat dan teliti
atas setiap lafal al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik
(kajian leksikal) melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya
paralel al-Qur’an dari lafal atau masadir yang sama, Ketiga,
mufassir seharusnya menganalisis bagaimana al-Qur’an menggabungkan lafal-lafal
ke dalam kalimat serta hendaknya menjelaskan efek psikologis bahasa al-Qur’an
terhadap para pendengarnya[14].
E.
Penafsiran Bercorak Sastra al Khuli
Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi yang mengambil metode dari Suaminya dengan pendekatan sastra dapat dilihat
bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai
dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan
bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih
(obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga
menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan
pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan
makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk
menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan
dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah
al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya
dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran
materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif
ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan
di indera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha
menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan,
dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang
hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang
demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.
[1] Lihat M. Aunul Abied Shah,
“Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi Intelektual” (Bandung : Mizan,
2001) hlm. 131.
[2] M. Aunul Abied Shah,
..... hlm. 131- 132.
[3]http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=615:fikrah-edisi-33--amin-al-khuli-tonggak-pembaharuan-tafsir-untuk-keadilan-dan
kesetaraan&catid=38:fikrah&Itemid=271 , diakses pada tanggal 06 Oktober 2013. Pukul
02.15 PM
[4] Lihat M. Aunul Abied Shah, .....
hlm . 132.
[5] Bin Syati’, al tafsir al
Bayani Li al Qur’an al Kari, Vol I (Kairo : Dar al- Ma’rifah, 1972), hlm
10-11
[6] Lihat Nur Syafa’atin, “Konsep
Harta dalam Al- Qur’an Menurut Amin al- Khuli”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : 2005. Hlm 16-17
[8] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir
Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli”, Skripsi
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta :
2011. Hlm 43-44.
[9] Lihat Yudiana, “Metode Tafsir
Sastra al Qur’an : Telaah atas Pendekatan Kritik Sastra Amin al Khuli” Hlm. 49-50
[10] Lihat M. Aunul Abied Shah, .....
hlm . 140-141.
[11] Aan Radiana dan Abdul Munir,
“Analisis Linguistik”, hlm. 298.
[12]
Amin al Khuli, Manahij Tajdid Fi al- Nahwu wa al-
Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab (Qahirah dar
al-Ma’rifat : 1961), hlm. 310-312.
[13]
Misal ketika berbicara tentang Adam, maka tidak cukup hanya merujuk pada surat
2: 30 tetapi juga surat 7: 10, 15: 28, dan 18: 45.
[14]
Dalam analisis al-Khuli, terdapat hubungan yang erat antara ilmu Balagah dan
Psikologi, yang menunjukkan urgensi interpretasi psikis terhadap teks
al-Qur’an, yang harus ditetapkan secara maksimal sesuai dengan kemampuan
sesorang dan kemajuan psikologi itu sendiri. Penetapan itu baik menyingkap
akselerasi jiwa manusia dan dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan
pembahasan al-Qur’an: kepercayaan agama, keyakinan akidah, olah perasaan,
warisan sejarah, dan pemikiran masa lampau serta tuntutan reaktualisasi yang
sesuai dengan zaman.
Langganan:
Postingan (Atom)