PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan menurut islam adalah pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
ibadah. Dengan tujuan menciptakan hubungan rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah.
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang laki-laki dan perempuan
sebagai makhluk yang menjalankan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ikatan yang sakral
ini tidak hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu semata, namun juga sebagai media
guna menciptakan generasi-generasi yang salihah
dan unggul untuk agama dan bangsa.
Sebagai suatu negara yang berlandaskan pada Pancasila,
terutama sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”. Maka perkawinan memiliki
hubungan yang erat dengan hukum agama. Sehingga pernikahan tidak hanya untuk
menciptakan keluarga yang bahagia, namun juga didasari oleh kepentingan agama.
Dalam pasal I undang-undang No I tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Namun, pernikahan yang sakral tersebut dikotori dengan
adanya konsep Nikah mut'ah atau kawin kontrak akhir-akhir ini banyak
dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan
mahasiswa. Praktik nikah mut`ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan,
kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh
masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Menurut Imam Syafi’i yang
sangat gigih mempertahankan argumennya bahwa nikah mutah itu haram sampai hari
kiamat.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana Takhrij
Hadits tentang “Nikah Mut’ah”?
2.Bagaimana pengertian
dan perspektif ulama tentang “Nikah Mut’ah”?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui Takhrij Hadits mengenai “Nikah Mut’ah”
2.
Untuk memehami pengertian dan perspektif para ulama tentang “Nikah Mut’ah”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Hadits dan Terjemahannya
HR. Ibnu Majah no. 1953 (Hadis Utama)[1]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ عَنْ أَبَانَ
بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ لَمَّا
وَلِيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ
حَرَّمَهَا وَاللَّهِ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا يَتَمَتَّعُ وَهُوَ مُحْصَنٌ إِلَّا
رَجَمْتُهُ بِالْحِجَارَةِ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَنِي بِأَرْبَعَةٍ يَشْهَدُونَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَحَلَّهَا بَعْدَ إِذْ حَرَّمَهَا
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalaf Al 'Asqalani berkata, telah
menceritakan kepada kami Al Firyabi dari Aban bin Abu Hazim dari Abu Bakr bin
Hafsh dari Ibnu Umar ia berkata, "Tatkala Umar bin Khaththab menjadi
Khalifah, dia berkhutbah di hadapan orang banyak, ia menyampaikan,
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengizinkan
kita untuk melakukan nikah mut'ah sebanyak tiga kali, kemudian mengharamkannya.
Demi
Allah, tidaklah aku mengetahui seseorang yang melakukan nikah mut'ah sementara
dia sudah menikah melainkan aku akan merajamnya dengan batu. Kecuali jika dia
mendatangkan kepadaku empat orang yang bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menghalalkannya setelah Beliau mengharamkannya"."
- Takhrij
al - Hadits[2]
Setelah
dilakukan takhrij al-hadits, hadits diatas juga terdapat pada Kutub atTis’ah lainnya
:
Hadits Penguat
NO.
|
NAMA KITAB
|
NO. HADITS
|
1.
|
Shahih Bukhari
|
1461
|
2.
|
Shahih Bukhari
|
1467
|
3.
|
Shahih Bukhari
|
1575
|
4.
|
Shahih Bukhari
|
4156
|
5.
|
Shahih Bukhari
|
4723
|
6.
|
Shahih Bukhari
|
5098
|
7.
|
Shahih Bukhari
|
6445
|
8.
|
Shahih Muslim
|
2146
|
9.
|
Shahih Muslim
|
2147
|
10.
|
Shahih Muslim
|
2148
|
11.
|
Shahih Muslim
|
2152
|
12.
|
Shahih Muslim
|
2158
|
13.
|
Shahih Muslim
|
2176
|
14.
|
Shahih Muslim
|
2946
|
15.
|
Shahih Muslim
|
2507
|
16.
|
Shahih Muslim
|
2511
|
17.
|
Sunan Tirmidzi
|
1040
|
18.
|
Sunan Tirmidzi
|
1041
|
19.
|
Sunan Abu Daud
|
1805
|
20.
|
Musnad Ahmad
|
324
|
21.
|
Musnad Ahmad
|
347
|
22.
|
Musnad Ahmad
|
405
|
23.
|
Musnad Ahmad
|
558
|
24.
|
Musnad Ahmad
|
717
|
25.
|
Musnad Ahmad
|
771
|
26.
|
Musnad Ahmad
|
1089
|
27.
|
Musnad Ahmad
|
1485
|
28.
|
Musnad Ahmad
|
2955
|
29.
|
Musnad Ahmad
|
5436
|
30
|
Musnad Ahmad
|
5546
|
31
|
Musnad Ahmad
|
5960
|
32
|
Musnad Ahmad
|
14542
|
33
|
Musnad Ahmad
|
14797
|
34
|
Musnad Ahmad
|
14809
|
35
|
Sunan Ibnu Majah
|
19851
|
- Naqd al Sanad[3]
1.Umar bin al Khattab (w.23 H)
Nama Lengkap : Umar bin al Khattab bin Nafil.
Nama Kunyah : Abu Hafs, adapun laqabnya adalah al
Furuq Amirul Mukminin
Beliau menerima hadis dari Nabi Saw dan sahabat
lainnya seperti Ubay bin Ka’ab bin Qai. Mu’ad bin Jabal dan lain-lain.
Beliau juga menyampaikan hadis pada Abdullah bin A’mr bin
‘Ash, Abdullah bin Mas’ud, anaknya sendiri ‘Abdulah bin Umar, Abdullah
bin al Abbas dan lain sebagainya. Kualitas periwayatan'Umar bin al-Khattib
tidak dapat diragukan lagi karena kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis
terhadap sahabat Nabbahwa seluruh sahabat Nabi itu adalah Adil.
2. 'Abdullah bin 'Umar (w. 73 H)
Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin `Umar bin al¬Khattab
bin Nafil. Beliau juga kebetulan adalah anak laki-lakinya `Umar bin Khattab dan
termasuk dalam kategori sahabat Nabi. Beliau lahir di Madinah dan meninggal di
Marwu al-Rudz tahun 73 Hijriyah.
'Abdullah bin `Umar
menerima hadis dari Nabi dan sahabat Nabi seperti Bilal bin Rabah,
Hafsah binti 'Umar bin al¬Khattab, Sa'ad bin Abi Wag-as, Aisyah binti Abi
Bakar, Umar bin Khattab, ayahnya sendiri dan lain¬lain.
Muridnya
antara lain adalah anaknya Bilal bin 'Abdullah bin `Umar, Bakar bin 'Amr, Abas
bin Jahd, 'Abdullah bin Hafs bin `Umar, dan masih banyak lagi para
tabi'in. Kualitas periwayatan 'Umar bin al-Khattab tidak dapat diragukan lagi
karena kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabbahwa
seluruh sahabat Nabi itu adalah Adil.[4]
3. Abu Bakar (wafat ? H)
Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin Hafs bin 'Umar bin
Sa'ad bin 'Abi Wag-as. Nama kunyah-nya adalah Abu Bakar bin Hafs. la menetap di
Madinah dan termasuk al-sugra bin al-tabi'in.
Diantara periwayat yang menjadi guru `Abu Bakar
adalah 'Abdullah Maula Bani Ta'im bin Marrah, Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin
al-Khattab Salman Maula Juhainah, 'Abdullah bin Hunain, 'Abdullah bin Amir bin
Rabiah, 'Abdullah bin `Umar bin al-Khattab dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid Abu Bakar antara lain
adalah Aban bin 'Abdullah bin abi Hazim, Ibrahim bin Muhajir bin Jabir,
Bilal bin Yahya Syu'bah bin al-Hajjaj bin al-Ward, 'Abd al¬Malik bin 'Abd
al-Aziz bin al-Juraij Muhammad bin Sauqah, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap Abu Bakar adalah:
Al-Nasa' :
siqah
Al-Ijli :
siqah
Ibn Abd al-Ban :
siqah
Ibn Hibban : wassaqahu
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa Abu
Bakar dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis hal ini dapat dilihat
dari tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
4. Abban (w. = ?)
Nama lengkapnya adalah Abban bin 'Abdullah bin Abi Hazim.
la adalah termasuk salah satu kibar al-atba' (tokoh tabi'in) yang menetap dan
meninggal di Kufah.
Di antara periwayat yang menjadi guru Abban adalah
Ibrahim bin Jafir bin 'Abd Allah 'Abdullah bin Saub, `Abdullah bin Hafs bin
'Umar bin Sa'ad bin Abi Waqas, `Usman bin Abi Hazim bin Sakhr, 'Amr bin
Syu'aib bin Muhammad bin 'Abdullah bin 'Amr, dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid Abban antara lain
adalah Syu'aib bin Harb, al-Fadl bin Dakin bin Rammad bin Juhair, Muhammad bin
'Abdullah bin al-Jubair bin 'Umar bin Dirham, Muhammad bin Yusuf bin Wagib
al-Firyabi, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap Abban adalah:
Yahya bin Ma'in :
siqah
Ahmad bin Hanbal :
siqah salib al-hadis
Al-Ijli : siqah
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa Abban
dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis. Hal ini dapat dilihat dari
tidak adanya penilaian negatif dari para ulama
5. Al-Firyabi (w. 212 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yusuf bin Waqid bin
'Usman al- Firyabi. Kunyah-nya adalah Abu 'Abdullah. Dia termasuk al-sugra bin
al-atba' yang lahir dan wafat di Syam pada tahun 212 Hijriyah.
Periwayat yang menjadi guru al- Firyabi adalah Aban
bin 'Abdullah bin Abi Hazim, Ibrahim bin Adham bin Mansur, Israil bin Yunus
bin Abi Ishaq, Sya'labah bin Suhail, Jarir bin Hazim bin Zaid, al-Harts bin
Sulaiman, dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid al- Firyabi antara
lain adalah Ahamad bin al-Azhar bin Mani', Ahmad bin Muhammad bin Hanbil bin
Hilal bin Asad, Ishaq bin Ibrahim bin Mukhallib, Ishaq bin Mansur bin Bahram, Muhammad
bin Khalaf bin 'Ammar, Isa bin Mahmud bin Ishaq, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap al-Firyabi adalah:
Yahya bin Ma'in :
siqah
Abu Hatim al-Razi :
saduq, salih al-hadis
Al-Ijli :
siqah
A1-Bukhari :
min afdal zamanih
Al-Nasa' I :
siqah
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa
al¬Firyabi dapat diterima dalam kegiatan periwayat hadis. Hat ini dapat dilihat
dart tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
6. Muhammad bin Khalaf (w. 260 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Khalaf bin Ammar
al-Asgalani. la termasuk al-wusta min tab'i al-atba' (tabi'tabi'in tengah). la
menetap dan meninggal di Syam pada tahun 260 Hijriyah.
Periwayat yang menjadi guru Muhammad bin Khalaf
antara lain adalah Adam bin Abi Iyyas, Rawwad bin al-Jarrah, Sa'id bin Abi
Mary-am al-Hakam bin muhammad bin SaFim, 'Ubaid Allah bin 'Abd al-Maid, Ubaid
Allah bin Musa bin Abi al-Mukhtar, Amr bin Abi Salamah, Muhammad bin Yusuf
bin Wagid, dan lain-lain.
Salah satu periwayat yang menjadi murid `Ali bin Muhammad
bin Ishaq adalah Ibnu Majah (Abu 'Abdillah bin Muhammad bin Yazid
al-Qaswini).
Penilaian ulama terhadap Muhammad bin Khalaf adalah:
Abu Hatim al-Razi :
saduq
Al-Nasa'I :
salih La ba'sa bihi
Abu Bakar Abi Asim :
siqah
Dan penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa
Muhammad bin Khalaf dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis. Hat ini
dapat dilihat dari tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
7.Ibnu Majah (209-273 H)
Nama lengkap : Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî. Ibnu Mâjah merupakan laqab
bapaknya (Yazîd). Dan kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh.
Guru-guru beliau : beliau memiliki guru yang sanggat banyak
diantarantanya, ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî, Jabbarah bin al Mughallas, Mush’ab
bin ‘Abdullah az Zubair, Suwaid bin Sa’îd, Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî, Muhammad
bin Khalaf Al 'Asqalani, Muhammad
bin Ramh, Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu
Bakr bin Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Ammar, Abu Sa’id Al Asyaj.
Murid-murid Beliau :
diantaranya adalah, Muhammad
bin ‘Isa al Abharî, Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî, Sulaiman bin Yazid al Fami, ‘Ali
bin Ibrahim al Qaththan, Ishaq bin Muhammad, Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar , ‘Ali
bin Sa’îd al ‘Askari , Ibnu Sibuyah, Wajdî Ahmad bin Ibrahîm.
Kritik Para Ulama :
1. Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah
seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah,
memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.”
2.Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; "(Ibnu Majah)
adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir."
3.Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang
hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.”
4.Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik
kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan
pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah
dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang
Kalau dilihat dari skema sanad hadis di atas,
penulis dapat menguraikan lebih jauh posisi-posisi periwayat mulai dari
periwayat pertama (sanad terakhir) sampai periwayat terakhir (sanad pertama)
yang dimulai dari sahabat Umar bin Khattab. Ternyata
hadis hanya memiliki jalur periwayatan sendiri dan tidak mempunyai jalur periwayatan
yang lain. Maka
dengan demikan hadis ini Shahih al Isnad.
Hadis ini berstatus ahad karena hanya
memiliki satu jalur periwayatan dari Umar bin khattab yang diriwayatkan oleh
ibnu majah dan idak terdapat pada kutub tis’ah lainnya. Hadis ini juga dilihat
dari sanadnya muttasil dan marfu’ (bersambung dan sampai kepada
Rasulullah), tetapi dilihat jumlah perawi dari masing-masing tahabaqah yang
notabenenya tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis tersebut dapat
dinyatakan sebagai hadis ahad aziz. Dari sini maka penyusun
berkesimpulan bahwa hadis ini shahih, sebab ia memenuhi hadis shahih secara
sanad ( ma ittashola sanaduhi bin naqli al adhly adh dhobiti ‘an mislihi ala
muntahahu
BAB II
PENGERTIAN , KASUS DAN
PERSPEKTIF ULAMA
- Pengertan Nikah Mut’ah
Nikah Mut'ah adalah,
seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan
sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya.
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata
thalak dan tanpa warisan.[5]
Bentuk
pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali
atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu
tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari
empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah
disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah
kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh
bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal),
dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
- Kasus –Kasus Nikah Mut’ah di Indonesia
- Selentingan
cerita kawin kontrak di kawasan Puncak Cisarua, Bogor, Jawa
Barat, ternyata bukan isapan jempol. Umumnya, kontrak terjadi antara
remaja perempuan dengan turis Arab selama 10 hari hingga tiga bulan.
Kenyataan ini memunculkan istilah "musim arab". Selain akrab di
telinga, istilah ini identik dengan musim rezeki bagi warga Desa Tugu
Selatan Cisarua, misalnya. Musim Arab biasa terjadi usai musim haji. Di masa itu,
banyak turis Arab berkunjung ke Indonesia. Sebagian berwisata ke Puncak
dan sebagian lainnya menghamburkan uang untuk menikmati tubuh perempuan.
Tentu diawali janji di depan penghulu alias menikah siri. Sementara nilai
kontrak berkisar Rp 5 juta hingga Rp 20 juta, tergantung waktu dan
kecantikan pasangan.[6]
- Pada
tahun 2011, di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara nyaris serupa nyaris serupa,
hanya saja mereka kumpul serumah alias kumpul kebo tanpa ada ikatan yang
resmi. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kawin kontrak yang
terjadi di desa Pelemkerep dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi yang
kurang mencukupi, pendidikan agama yang kurang, dan kondisi sosial
masyarakat yang individualis, serta budaya matrealisme yang memandang
kesejahteraan hanya dari uang. Tujuan dari pelaksanaan kawin kontrak bagi
pihak wanita adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi diri dan
keluarganya, sedang bagi pihak pria tujuan melaksanakan kawin kontrak
adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya secara aman. Proses pelaksanaan kawin kontrak diproses dengan
ketentuan hukum agama Islam dengan bantuan seorang Kyai, dengan alasan
prosesnya lebih mudah dan cepat. Walaupun perkawinan diproses sesuai hukum
Islam, namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai hukum Islam
karena didasarkan pada kontrak atau perjanjian
yang isinya sangat bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.[7]
- Perspektif Ulama[8]
- Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat
490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini
bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587
H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan,
"Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334)
mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai
peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam
kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang
lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya
Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua
nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi
kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam
Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan,
"Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya
adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan
waktu."
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah
yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal
(wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
BAB
IV
PENUTUP
- Kesimpulan
- Hadis tentang Nikah
Mut’ah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berstatus ahad aziz dan shohih
al Isnad.
- Menurut Kitab Fiqh
empat madzhab, Nikah Mut’ah hukumnya haram.
- Nikah Mut’ah dilatar
belakangi oleh keadaan ekonomi yang kurang mencukupi, pendidikan agama
yang kurang, dan kondisi sosial masyarakat yang individualis, serta budaya
matrealisme yang memandang kesejahteraan hanya dari uang.
- Daftar
Pustaka
http://www.islam2u.net
apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=20:fatwa&Itemid=65 di
Software
Lidwa Pusaka “Kitab 9 Imam”
Al-
Qur’an in Word
ash Shan'ani , Subulus
Salam, Darul Kutub Ilmiyah
[1] Terdapat juga pada kitab
sunan ibnu majah dengan redaksi matan yang berbeda no.1951 dan 1952
[2] Software Maktabah Syamilah.
[4] Sahabat dikatakan adil berdasarkan pendapat jumhur ulama
yang mengatakan bahwa keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur'an dan
hadis. Diantara al-Qur'an yang menyebut hal itu adalah Q.S. al-Fath (48): 29,
al-Taubah (9): 100, al-anfal (8): 74, al-Hasyr (59): 10, demikian juga hadis
yang menyatakan hal yang senada. Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib, al¬Sunnah
Qabla al-Tadzin (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 394-404.
[5] Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170),
dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul
Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[8] http://www.islam2u.net
apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=20:fatwa&Itemid=65 di akses pada
tanggal 13 April 2013 pukul 07.00 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar