Kamis, 24 Oktober 2013

Nikah Mut'ah

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan menurut islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Dengan tujuan menciptakan hubungan rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah. Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang menjalankan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ikatan yang sakral ini tidak hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu semata, namun juga sebagai media guna menciptakan  generasi-generasi yang salihah  dan unggul untuk agama dan bangsa.
Sebagai suatu negara yang berlandaskan pada Pancasila, terutama sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”. Maka perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan hukum agama. Sehingga pernikahan tidak hanya untuk menciptakan keluarga yang bahagia, namun juga didasari oleh kepentingan agama. Dalam pasal I undang-undang No I tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, pernikahan yang sakral tersebut dikotori dengan adanya konsep Nikah mut'ah atau kawin kontrak akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa. Praktik nikah mut`ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Menurut Imam Syafi’i yang sangat gigih mempertahankan argumennya bahwa nikah mutah itu haram sampai hari kiamat.

B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana Takhrij Hadits tentang “Nikah Mut’ah”?
2.Bagaimana pengertian dan perspektif ulama tentang “Nikah Mut’ah”?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Takhrij Hadits mengenai “Nikah Mut’ah”
2. Untuk memehami pengertian dan perspektif para ulama tentang “Nikah Mut’ah”
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teks Hadits dan Terjemahannya
HR. Ibnu Majah no. 1953 (Hadis Utama)[1]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ عَنْ أَبَانَ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ لَمَّا وَلِيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ حَرَّمَهَا وَاللَّهِ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا يَتَمَتَّعُ وَهُوَ مُحْصَنٌ إِلَّا رَجَمْتُهُ بِالْحِجَارَةِ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَنِي بِأَرْبَعَةٍ يَشْهَدُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَحَلَّهَا بَعْدَ إِذْ حَرَّمَهَا
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalaf Al 'Asqalani berkata, telah menceritakan kepada kami Al Firyabi dari Aban bin Abu Hazim dari Abu Bakr bin Hafsh dari Ibnu Umar ia berkata, "Tatkala Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, dia berkhutbah di hadapan orang banyak, ia menyampaikan, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengizinkan kita untuk melakukan nikah mut'ah sebanyak tiga kali, kemudian mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui seseorang yang melakukan nikah mut'ah sementara dia sudah menikah melainkan aku akan merajamnya dengan batu. Kecuali jika dia mendatangkan kepadaku empat orang yang bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghalalkannya setelah Beliau mengharamkannya"."
  1. Takhrij al - Hadits[2]
Setelah dilakukan takhrij al-hadits, hadits diatas juga terdapat pada Kutub atTis’ah lainnya :
Hadits Penguat
NO.
NAMA KITAB
NO. HADITS
1.
Shahih Bukhari
1461
2.
Shahih Bukhari
1467
3.
Shahih Bukhari
1575
4.
Shahih Bukhari
4156
5.
Shahih Bukhari
4723
6.
Shahih Bukhari
5098
7.
Shahih Bukhari
6445
8.
Shahih Muslim
2146
9.
Shahih Muslim
2147
10.
Shahih Muslim
2148
11.
Shahih Muslim
2152
12.
Shahih Muslim
2158
13.
Shahih Muslim
2176
14.
Shahih Muslim
2946
15.
Shahih Muslim
2507
16.
Shahih Muslim
2511
17.
Sunan Tirmidzi
1040
18.
Sunan Tirmidzi
1041
19.
Sunan Abu Daud
1805
20.
Musnad Ahmad
324
21.
Musnad Ahmad
347
22.
Musnad Ahmad
405
23.
Musnad Ahmad
558
24.
Musnad Ahmad
717
25.
Musnad Ahmad
771
26.
Musnad Ahmad
1089
27.
Musnad Ahmad
1485
28.
Musnad Ahmad
2955
29.
Musnad Ahmad
5436
30
Musnad Ahmad
5546
31
Musnad Ahmad
5960
32
Musnad Ahmad
14542
33
Musnad Ahmad
14797
34
Musnad Ahmad
14809
35
Sunan Ibnu Majah
19851
           




  1. Naqd al Sanad[3]
1.Umar bin al Khattab (w.23 H)
Nama Lengkap : Umar bin al Khattab bin Nafil.
Nama Kunyah   : Abu Hafs, adapun laqabnya adalah al Furuq Amirul Mukminin
Beliau menerima hadis dari Nabi Saw dan sahabat lainnya seperti Ubay bin Ka’ab bin Qai. Mu’ad bin Jabal dan lain-lain.
Beliau juga menyampaikan hadis pada Abdullah bin A’mr bin ‘Ash, Abdullah bin Mas’ud, anaknya sendiri ‘Abdulah bin Umar, Abdullah bin al Abbas dan lain sebagainya. Kualitas periwayatan'Umar bin al-Khattib tidak dapat diragukan lagi karena kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabbahwa seluruh sahabat Nabi itu adalah Adil.
2. 'Abdullah bin 'Umar (w. 73 H)
Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin `Umar bin al¬Khattab bin Nafil. Beliau juga kebetulan adalah anak laki-lakinya `Umar bin Khattab dan termasuk dalam kategori sahabat Nabi. Beliau lahir di Madinah dan meninggal di Marwu al-Rudz tahun 73 Hijriyah.
 'Abdullah bin `Umar menerima hadis dari Nabi dan sahabat Nabi seperti Bilal bin Rabah, Hafsah binti 'Umar bin al¬Khattab, Sa'ad bin Abi Wag-as, Aisyah binti Abi Bakar, Umar bin Khattab, ayahnya sendiri dan lain¬lain.
Muridnya antara lain adalah anaknya Bilal bin 'Abdullah bin `Umar, Bakar bin 'Amr, Abas bin Jahd, 'Abdullah bin Hafs bin `Umar, dan masih banyak lagi para tabi'in. Kualitas periwayatan 'Umar bin al-Khattab tidak dapat diragukan lagi karena kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabbahwa seluruh sahabat Nabi itu adalah Adil.[4]
3. Abu Bakar (wafat ? H)
Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin Hafs bin 'Umar bin Sa'ad bin 'Abi Wag-as. Nama kunyah-nya adalah Abu Bakar bin Hafs. la menetap di Madinah dan termasuk al-sugra bin al-tabi'in.
Diantara periwayat yang menjadi guru `Abu Bakar adalah 'Abdullah Maula Bani Ta'im bin Marrah, Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khattab Salman Maula Juhainah, 'Abdullah bin Hunain, 'Abdullah bin Amir bin Rabiah, 'Abdullah bin `Umar bin al-Khattab dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid Abu Bakar antara lain adalah Aban bin 'Abdullah bin abi Hazim, Ibrahim bin Muhajir bin Jabir, Bilal bin Yahya Syu'bah bin al-Hajjaj bin al-Ward, 'Abd al¬Malik bin 'Abd al-Aziz bin al-Juraij Muhammad bin Sauqah, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap Abu Bakar adalah:
Al-Nasa'                      : siqah
Al-Ijli                          : siqah
Ibn Abd al-Ban           : siqah
Ibn Hibban                  : wassaqahu
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa Abu Bakar dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
4. Abban (w. = ?)
Nama lengkapnya adalah Abban bin 'Abdullah bin Abi Hazim. la adalah termasuk salah satu kibar al-atba' (tokoh tabi'in) yang menetap dan meninggal di Kufah.
Di antara periwayat yang menjadi guru Abban adalah Ibrahim bin Jafir bin 'Abd Allah 'Abdullah bin Saub, `Abdullah bin Hafs bin 'Umar bin Sa'ad bin Abi Waqas, `Usman bin Abi Hazim bin Sakhr, 'Amr bin Syu'aib bin Muhammad bin 'Abdullah bin 'Amr, dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid Abban antara lain adalah Syu'aib bin Harb, al-Fadl bin Dakin bin Rammad bin Juhair, Muhammad bin 'Abdullah bin al-Jubair bin 'Umar bin Dirham, Muhammad bin Yusuf bin Wagib al-Firyabi, dan lain-lain.

Penilaian ulama terhadap Abban adalah:
Yahya bin Ma'in          : siqah
Ahmad bin Hanbal      : siqah salib al-hadis
Al-Ijli                          : siqah
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa Abban dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penilaian negatif dari para ulama
5. Al-Firyabi (w. 212 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yusuf bin Waqid bin 'Usman al- Firyabi. Kunyah-nya adalah Abu 'Abdullah. Dia termasuk al-sugra bin al-atba' yang lahir dan wafat di Syam pada tahun 212 Hijriyah.
Periwayat yang menjadi guru al- Firyabi adalah Aban bin 'Abdullah bin Abi Hazim, Ibrahim bin Adham bin Mansur, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Sya'labah bin Suhail, Jarir bin Hazim bin Zaid, al-Harts bin Sulaiman, dan lain-lain.
Periwayat yang menjadi murid al- Firyabi antara lain adalah Ahamad bin al-Azhar bin Mani', Ahmad bin Muhammad bin Hanbil bin Hilal bin Asad, Ishaq bin Ibrahim bin Mukhallib, Ishaq bin Mansur bin Bahram, Muhammad bin Khalaf bin 'Ammar, Isa bin Mahmud bin Ishaq, dan lain-lain.

Penilaian ulama terhadap al-Firyabi adalah:
Yahya bin Ma'in          : siqah
Abu Hatim al-Razi      : saduq, salih al-hadis
Al-Ijli                          : siqah
A1-Bukhari                 : min afdal zamanih
Al-Nasa' I                    : siqah
Dari penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa al¬Firyabi dapat diterima dalam kegiatan periwayat hadis. Hat ini dapat dilihat dart tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
6. Muhammad bin Khalaf (w. 260 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Khalaf bin Ammar al-Asgalani. la termasuk al-wusta min tab'i al-atba' (tabi'tabi'in tengah). la menetap dan meninggal di Syam pada tahun 260 Hijriyah.
Periwayat yang menjadi guru Muhammad bin Khalaf antara lain adalah Adam bin Abi Iyyas, Rawwad bin al-Jarrah, Sa'id bin Abi Mary-am al-Hakam bin muhammad bin SaFim, 'Ubaid Allah bin 'Abd al-Maid, Ubaid Allah bin Musa bin Abi al-Mukhtar, Amr bin Abi Salamah, Muhammad bin Yusuf bin Wagid, dan lain-lain.
Salah satu periwayat yang menjadi murid `Ali bin Muhammad bin Ishaq adalah Ibnu Majah (Abu 'Abdillah bin Muhammad bin Yazid al-Qaswini).
Penilaian ulama terhadap Muhammad bin Khalaf adalah:
Abu Hatim al-Razi      : saduq
Al-Nasa'I                     : salih La ba'sa bihi
Abu Bakar Abi Asim  : siqah
Dan penilaian ulama di atas dapat dikatakan bahwa Muhammad bin Khalaf dapat diterima dalam kegiatan periwayatan hadis. Hat ini dapat dilihat dari tidak adanya penilaian negatif dari para ulama.
7.Ibnu Majah (209-273 H)
Nama lengkap : Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî. Ibnu Mâjah merupakan laqab bapaknya (Yazîd). Dan kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh.
Guru-guru beliau : beliau memiliki guru yang sanggat banyak diantarantanya, ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî, Jabbarah bin al Mughallas, Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair, Suwaid bin Sa’îd, Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî, Muhammad bin Khalaf Al 'Asqalani,  Muhammad bin Ramh, Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Ammar, Abu Sa’id Al Asyaj.
Murid-murid Beliau  : diantaranya adalah, Muhammad bin ‘Isa al Abharî, Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî, Sulaiman bin Yazid al Fami, ‘Ali bin Ibrahim al Qaththan, Ishaq bin Muhammad, Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar , ‘Ali bin Sa’îd al ‘Askari , Ibnu Sibuyah, Wajdî Ahmad bin Ibrahîm.
Kritik Para Ulama    :
1. Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.”
2.Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; "(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir."
3.Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.”
4.Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang
Kalau dilihat dari skema sanad hadis di atas, penulis dapat menguraikan lebih jauh posisi-posisi periwayat mulai dari periwayat pertama (sanad terakhir) sampai periwayat terakhir (sanad pertama) yang dimulai dari sahabat Umar bin Khattab. Ternyata hadis hanya memiliki jalur periwayatan sendiri dan tidak mempunyai jalur periwayatan yang lain. Maka dengan demikan hadis ini Shahih al Isnad.
Hadis ini berstatus ahad karena hanya memiliki satu jalur periwayatan dari Umar bin khattab yang diriwayatkan oleh ibnu majah dan idak terdapat pada kutub tis’ah lainnya. Hadis ini juga dilihat dari sanadnya muttasil dan marfu’ (bersambung dan sampai kepada Rasulullah), tetapi dilihat jumlah perawi dari masing-masing tahabaqah yang notabenenya tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai hadis ahad aziz. Dari sini maka penyusun berkesimpulan bahwa hadis ini shahih, sebab ia memenuhi hadis shahih secara sanad ( ma ittashola sanaduhi bin naqli al adhly adh dhobiti ‘an mislihi ala muntahahu
BAB II
PENGERTIAN , KASUS DAN PERSPEKTIF ULAMA
  1. Pengertan Nikah Mut’ah
 Nikah Mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.[5]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
  1. Kasus –Kasus Nikah Mut’ah di Indonesia
  1. Selentingan cerita kawin kontrak di kawasan Puncak Cisarua, Bogor, Jawa Barat, ternyata bukan isapan jempol. Umumnya, kontrak terjadi antara remaja perempuan dengan turis Arab selama 10 hari hingga tiga bulan. Kenyataan ini memunculkan istilah "musim arab". Selain akrab di telinga, istilah ini identik dengan musim rezeki bagi warga Desa Tugu Selatan Cisarua, misalnya. Musim Arab biasa terjadi usai musim haji. Di masa itu, banyak turis Arab berkunjung ke Indonesia. Sebagian berwisata ke Puncak dan sebagian lainnya menghamburkan uang untuk menikmati tubuh perempuan. Tentu diawali janji di depan penghulu alias menikah siri. Sementara nilai kontrak berkisar Rp 5 juta hingga Rp 20 juta, tergantung waktu dan kecantikan pasangan.[6]
  2. Pada tahun 2011, di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara nyaris serupa nyaris serupa, hanya saja mereka kumpul serumah alias kumpul kebo tanpa ada ikatan yang resmi. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kawin kontrak yang terjadi di desa Pelemkerep dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi yang kurang mencukupi, pendidikan agama yang kurang, dan kondisi sosial masyarakat yang individualis, serta budaya matrealisme yang memandang kesejahteraan hanya dari uang. Tujuan dari pelaksanaan kawin kontrak bagi pihak wanita adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi diri dan keluarganya, sedang bagi pihak pria tujuan melaksanakan kawin kontrak adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya secara aman. Proses pelaksanaan kawin kontrak diproses dengan ketentuan hukum agama Islam dengan bantuan seorang Kyai, dengan alasan prosesnya lebih mudah dan cepat. Walaupun perkawinan diproses sesuai hukum Islam, namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai hukum Islam karena didasarkan pada kontrak atau perjanjian yang isinya sangat bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.[7]

  1. Perspektif Ulama[8]
- Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.




BAB IV
PENUTUP
  1. Kesimpulan
  1. Hadis tentang Nikah Mut’ah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berstatus ahad aziz dan shohih al Isnad.
  2. Menurut Kitab Fiqh empat madzhab, Nikah Mut’ah hukumnya haram.
  3. Nikah Mut’ah dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi yang kurang mencukupi, pendidikan agama yang kurang, dan kondisi sosial masyarakat yang individualis, serta budaya matrealisme yang memandang kesejahteraan hanya dari uang.

  1. Daftar Pustaka
http://www.islam2u.net apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=20:fatwa&Itemid=65 di
Software Lidwa Pusaka “Kitab 9 Imam”
Al- Qur’an in Word
ash Shan'ani , Subulus Salam, Darul Kutub Ilmiyah






[1] Terdapat juga pada kitab sunan ibnu majah dengan redaksi matan yang berbeda no.1951 dan 1952
[2] Software Maktabah Syamilah.
[3] Software Lidwa Pusaka “Kitab 9 Imam” dan Software Jawami’ul Kalim v 4.5
[4] Sahabat dikatakan adil berdasarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur'an dan hadis. Diantara al-Qur'an yang menyebut hal itu adalah Q.S. al-Fath (48): 29, al-Taubah (9): 100, al-anfal (8): 74, al-Hasyr (59): 10, demikian juga hadis yang menyatakan hal yang senada. Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib, al¬Sunnah Qabla al-Tadzin (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 394-404.

[5] Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[6] http://www.Liputan6.com, diakses pada tanggal 13 April 2013 pukul 07.30 Wib
[7] http://lib.unnes.ac.id/3265/ , diakses pada tanggal 13 April 2013 pukul 08.30 Wib
[8] http://www.islam2u.net apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=20:fatwa&Itemid=65 di akses pada tanggal 13 April 2013 pukul 07.00 Wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar